Pulanglah, Nak
oleh: Imas Siti Liawati
“Jadi gimana, Pak!” Tanya seorang perempuan paruh baya pada suaminya yang baru saja tiba di rumah.
Sang suami yang ditanya hanya dapat menggelengkan kepala pelan, “Belum dapat kabar, Bu!”
Ah, perempuan itu mendesah gusar, “Benar- benar tak pulang mereka ya, Pak?”
Lagi- lagi lelaki itu menggeleng, “Bapak belum tahu, Bu. Mereka sulit dihubungi. Kita berdoa saja ya,”
Akhirnya si perempuan tua mengangguk pasrah. Mau bagaimana lagi, mereka hanya dua orang tua yang hanya dapat menunggu.
Pulanglah, Nak, batin sang perempuan menggumam.
Hampir dua tahun sudah kedua anak mereka tak pernah pulang untuk merayakan hari raya Idul Fitri. Hati mereka bersedih, dua anak yang dibanggakan selalu saja tak menyempatkan merayakan lebaran di kampung halaman, tempat kedua orang tua itu bermukim. Apakah sesibuk itu mereka? Hingga tak meluangkan waktu sejenak, bersukacita di hari kemanangan? Akankah tahun ini bernasib sama, hanya kami berdua saja?
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Laa Ilaha Illallohu Allohu Akbar..
Allahu Akbar Walillahilham..
Suara takbir mulai menggema dari masjid kampung. Kedua orang tua itu berpandangan lalu menghela nafas pelan. Inikah nasib kami akhirnya?
“Ya sudah, Bu. Lebih baik kita shalat Isya dulu!” Lelaki itu berdiri dari kursi duduknya, ia membuang muka saat melihat pancaran kesedihan di mata istrinya. Namun ia pun tak dapat berbuat apa- apa lagi, karena ia juga merasakan sedih tiada tara.
Tok, tok, tok…
Sejenak keduanya berpandangan,
“Assalamualaikum,” terdengar salam terucap membuat keduanya terkesiap kaget.
“Pak, Bapak! Bu, Ibu!”
Suara itu,
Keduanya lagi- lagi berpandangan.
Mungkinkah?
“Pak, Ibu ini Tyas!”
Deg,
“Ty…Tyas, Pak!”
Lelaki paruh baya mengangguk, dengan cepat ia melangkahkan kaki menuju pintu depan diikuti istrinya di belakangnya.
Keduanya terbelalak tak percaya saat mendapati sang putri sulung berdiri di depan pintu rumah dengan raut wajah yang tak dapat terbaca.
“Pak, Bu maafin Tyas!” Gerakan pelukan cepat sang putri sulungnya ke arah lelaki tua yang tepat berdiri depan pintu.
“Iya, Nak! Sebaiknya kita masuk segera!” Rasa haru tak dapat ditahan lagi oleh kedua orang tua itu, Ya allah akhirnya anak kami pulang,
“Maafin Tyas, Bu,” Kali ini ia memeluk ibundanya. Si ibu hanya dapat mengangguk tanpa dapat berkata apapun. Hatinya mengucap syukur.
Tak lama ketiganya terduduk di ruang tengah keluarga,
“Tyas egois karena nggak pernah memikirkan perasaan bapak dan ibu, Tyas hanya memikirkan diri sendiri. Tyas bekerja keras untuk dapat dipandang orang lain, tapi Tyas melupakan orang tua sendiri. Maafin Tyas, Pak, Bu!” Ungkap Tyas dengan rasa sesal teramat besar.
“Sudahlah, Nduk. Yang penting kamu sudah disini,” sahut si laki- laki paruh baya menengahi.
“Adikmu bagaimana?” tanya perempuan tua itu penasaran,
Tyas menggigit bibirnya, ia menghela nafas panjang. Haruskah kukatakan yang sebenarnya,
“Eh.. Itu Dinda…,” ujarnya ragu, “Banyak kerjaan, Pak. Mudah- mudahan ia segera pulang,”
Laki- laki tua itu menghela nafas, sepertinya putri bungsunya masih enggan pulang.
“Ya sudah, kita hanya berdoa semoga dia segera pulang,”
“Walaupun kami sudah berbuat salah, Bapak dan Ibu masih menerima kami,”
“Nak, sampai kapanpun kami adalah orang tua kalian. Apapun yang terjadi kalian tetap anak kami. Jadi rumah ini aka menjadi tempat kalian kembali,”
Tetes air mata sudah tak dapat ditahan Tyas, sampai kapanpun mereka orang tua adalah tempat terbaik. Kesalahan sebesar apapun akan dimaafkan. Pulanglah segera, Din, doanya dalam hari.
(ISL)
Bandung, 20 Juni 2014
ps. tulisan gagal kirim karena salah sudut pandang plus lupa waktu deadline. hehehe… telat maksudnyaaa….. 😀
Tidak ada bekas anak, kan? orang tua selalu berharap anak2nya akan pulang…Nah, Mbak Imas kapan pulang nih?
Tungguuuuu lebarann om…:-)