Universitas, sebagai institusi pendidikan tinggi, seharusnya menjadi pusat keadilan dan integritas. Namun, kasus pelecehan seksual yang mencuat di salah satu universitas terkenal di Makassar mengungkap ironi yang menyakitkan. Bukan hanya korban yang menghadapi kesulitan dalam menemukan keadilan, tetapi juga mahasiswa yang berusaha membela korban menerima hukuman yang serius. Sejauh mana kampus benar-benar berpihak pada kebenaran muncul dalam konteks ini.
Dalam kasus yang terjadi di Universitas Hasanuddin, muncul sebuah paradoks. Di satu sisi, seorang dosen terlapor pelecehan seksual dijatuhi sanksi yang dinilai ringan. Namun di sisi lain, seorang mahasiswa yang menjadi pembela korban justru diberhentikan dari kampus dengan alasan pelanggaran etik. Keputusan ini menuai kontroversi, terutama karena waktu pemberhentian mahasiswa tersebut berdekatan dengan upayanya mengkritik penanganan kasus pelecehan. Apakah ini murni penegakan aturan, atau ada motif lain di balik tindakan tersebut?
Kasus ini menunjukkan masalah relasi kuasa di dunia akademik, di mana mahasiswa seringkali diperlakukan dengan cara yang berbeda dari dosen. Kritik terhadap sanksi ringan yang diberikan kepada dosen yang melakukan pelecehan menunjukkan bahwa kampus tidak serius melindungi korban. Sementara itu, ketidakjelasan dan keberpihakan institusi terhadap keadilan ditimbulkan oleh pemberhentian mahasiswa pembela korban.
Kisah ini mengungkapkan dilema mendasar: apakah kampus benar-benar tempat yang aman bagi semua orang atau malah menjadi tempat di mana orang-orang yang berkuasa mengambil alih?
Institusi harus menunjukkan bahwa mereka menjunjung tinggi prinsip keadilan untuk meningkatkan kredibilitasnya. Untuk mengembalikan kepercayaan publik, investigasi independen, transparansi, dan kebijakan yang berpihak pada korban dapat membantu.
Olehnya itu. perlu pendampingan hukum bagi korban dan pembela: Untuk memastikan hak mereka terlindungi, kampus dapat menyediakan layanan pendampingan hukum bagi korban pelecehan seksual dan mahasiswa yang berani mengkritik kebijakan kampus.
Di samping itu dibutuhkan pelatihan dan sosialisasi. Institusi pendidikan harus memberikan pelatihan kepada guru, karyawan, dan siswa tentang kebijakan anti-pelecehan seksual, etika akademik, dan hak-hak siswa untuk mempersiapkan mereka untuk menangani kasus serupa di masa depan.
Moga-moga kejadian ini tak terulang lagi karena kasus ini telah mencoreng citra Universitas Hasanuddin..