Apakah tidak ada orang yang Anda benci dalam kehidupan ini? Wah, selamat! Setidaknya satu prasyarat masuk surga sudah dikantongi. Tidak membenci orang itu sulit sekali bagi saya. Apalagi ketika kita mendapat perlakuan kejam selama bertahun – tahun, bukan secara fisik namun secara mental. Ketika mengalami aniaya bathin itu, saya tidak tahu apa maksud Tuhan dengan segala cobaanNya. Katanya kalau orang dianiaya itu sedang dicobai. Padahal saya nggak minta cobaan, nggak minta naik kelas dan sebagainya. Saya hanya ingin selalu gembira saja dalam menjalani hidup ini sehingga tercermin dalam wajah dan laku. Hati yang gembira akan membagikan kegembiraan yang sama pada lingkungan sekelilingnya. Tapi kalau dianiaya terus, bagaimana mau gembira ya? Hati bawaannya mendung, secara tak langsung tercurah pada laku yang murung dan pesimis.
Lama saya mencari makna dari aniaya yang saya alami. Apa dan mengapa? Beberapa minggu ini, saya terkejut melihat katastropik yang akhirnya muncul menimpa mereka yang pernah menganiaya saya. Disadari atau tidak, dirasakan atau tidak bagi orang – orang tersebut, tapi saya menjadi saksi murka Tuhan yang turun atas kezaliman mereka. Saya sangat kaget, katastropik yang muncul luar biasa, diluar dugaan dan tak terbayangkan oleh siapapun juga. Ini ibarat sudah lama berada di langit ke tujuh kemudian dibanting kebawah pada siksa neraka terowongan ke tujuh pula. Saya hanya berpikir, kok bisa? How come? Lalu disini sifat manusiawi saya yang kejam muncul. Saya mengatakan sukurin, kena karma, kena tulah dan kena murka Tuhan. Komplitlah! Sungguh sulit bagi saya untuk berperan dewa dengan mengampuni, memaafkan dan seterusnya. Karena siksa yang diberikan dari masa lalu itu secara pribadi sangatlah menyakitkan. Saya berusaha mencegah nista diri sendiri dengan mencoba mengacuhkan musibah yang tersaji didepan mata. Tapi tidak bisa, hati dan mulut saya seolah merindukan momennya sendiri pula. Bersama – sama mereka berkata, Mati kau!
Lalu saya ingat, jika saya juga bersifat kejam, apa bedanya dengan mereka? Sejak meninggalkan sesuatu yang saya sebut ‘masa lalu kelabu’ saya terus belajar tentang spiritualitas dan Tuhan. Bukannya sok suci atau sok pengen religius. Jika menengok masa lalu, saya malu karena saya sangat meremehkan unsur Tuhan. Ada sahabat dekat yang justru memberi pengaruh buruk pada saya, ia mengajarkan bahwa Tuhan itu hanyalah ‘unsur’ yang bisa ditawar! Hey, come on! Realistis dong, ini kehidupan. Nikmati sepuasnya, raih sebanyaknya. Jangan tertinggal di belakang kayak lossers, pecundang! Ketika mengingat hari – hari yang penuh bisikan setan itu saya sangat ketakutan. Ketika itu saya tak menyadari bahwa saya tengah diseret oleh suatu pengaruh keadaan dimana seolah sayalah yang salah karena berlaku beda. Perasaan itu seperti seekor itik yang ikut dengan rombongan induk ayam dan anak – anaknya. Saya berusaha menjadi seperti mereka, induk ayam dan anak – anaknya. Tapi pada suatu titik perasaan saya tak dapat dipungkiri. Sekalipun berganti bulu, saya tetap bukanlah ayam. Selamanya saya akan menjadi itik! Lalu saya mengadu kepada Tuhan, terus – menerus saya adukan. Padahal seakan Tuhan itu diam dan bisu. Sulit untuk melihat kebenaran, apakah Ia mendengar? Apakah Ia menjawab?
Lalu ketika katastropik muncul pada orang – orang yang zalim tersebut, saya berusaha menekan kebanggaan dan binar dimata, bahwa itulah murka Tuhan. Saya tidak berhak mengadili. Tapi tak dipungkiri pula, suatu bagian lain dari hati berteriak, kamu dianiaya oleh mereka! Sedikit banyak ini adalah kemenangan yang kaunantikan. Sedikit demi sedikit saya terseret kembali pada masa lalu yang penuh dendam dan kebencian. Untungnya, karena suatu alasan yang lagi – lagi misteri Ilahi, suatu perhelatan keagamaan tengah berlangsung dalam kehidupan. Saya harus khusyuk dan dalam perjumpaan ritual seolah saya ‘ditegur’ olehNya. Tuhan berkata, keadilan itu bukan untuk dirimu tetapi untuk menyadarkan orang – orang yang zalim. Kamu adalah manusia, kamu tidak punya hak untuk mengadili orang lain menurut sudut pandangmu sendiri. Ketika hati dan mulut bicara sulit menyatukan mereka. Terkadang mulut berbicara demi kebajikan yang nampak luar, sementara hati membencinya. Disisi lain kadang mulut lalai menjaga perangainya dan meledak dalam amarah, padahal hati berusaha menyejukkan. Jadi, bagaimana sih cara membuat kompak kedua pengawal kehidupan ini? Terus berlatih dan,…lanjutkan!
foto : drseanbullard.com
Jujur sih ada yang dibenci tapi gak sampai mati2an hehhe… udah pakai doa mengasihi tetap aja masih ada sisa2 hehhe..rapopo ya?
ya namanya juga manusia yaa bos,..ujung – ujungnya menghindar deh…haha…males cari perkara..