Salahkah Aku ?
Oleh Odi Shalahuddin
Sejak kecil, aku belum pernah diajari oleh orangtua, guru di sekolah, dan guru ngaji, bahwa adalah benar, menggunakan kekerasan dan penghilangan nyawa dengan melafalkan asma Allah, Yang Maha Kuasa, Maha Agung, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bahkan mereka mengajariku untuk menahan nafsu dan menghindari kekerasan, termasuk pula bila diri dalam ancaman.
Ketika aku berkumpul bersama kawan-kawan, termasuk para preman, tidak ada satupun yang melakukan pembenaran atas kekerasan yang terjadi, baik yang dilihat ataupun yang dilakukan sendiri. Alasan, tentu saja ada, hal itu tak bisa dipungkiri.
Maka, ketika kekerasan demi kekerasan terjadi, atas nama apapun, di mana-pun, membuat tubuh menggigil, dada berdebar, dan air mata mendesak untuk muntah. Tak terbayang bila aku menyaksikan secara langsung. Melalui gambar dalam film saja sudah membuat perut mual berhari-hari.
Tapi itulah yang terjadi. Kudengar, dan kuyakin pastilah kau juga mendengarnya. Kusaksikan dalam layar televisi atau kiriman dari site-site yang kuyakin kau juga pernah menyaksikan, bahkan bisa jadi engkau diantara orang-orang yang langsung menontonnya.
Semakin mual perutku berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, tanpa tahu kepastian tentang akhir, dari berbagai rentetan peristiwa yang senantiasa berulang, di negeri ini, negeri yang konon masyarakatnya berjiwa besar, ramah dan penuh toleransi terhadap berbagai perbedaan, yang kini berubah menjadi beringas, penuh amarah dan memuntahkan segala kekelaman dalam jiwa menjadi wajah-wajah yang menghiasi gerak kehidupan negeri ini.
Menyedihkan sekaligus menggelikan, ketika para penguasa justru menyatakan prihatin, ikut-ikutan para warga yang gelisah. Sesungguhnya yang dibutuhkan adalah tindakan. Tindakan lantaran telah diberikan kepada mereka kewenangan sepenuhnya untuk menjamin keselamatan para warga. Maka, salahkah aku bila tak bisa menerima alasan atas keterbatasan yang mereka miliki? Bagaimana bila mengatur hubungan antar warga saja tiada kemampuan (atau malah sengaja membiarkan berbagai peristiwa untuk terus terjadi), ketika kita benar-benar berperang melawan kedaulatan negeri ini. Mengerikan, bila itu benar-benar terjadi.
Salahkah aku? Sungguh bila hingga saat ini tidak memiliki keyakinan tentang kebenaran dengan menggunakan kekerasan. Ajarilah aku, yakinkanlah aku, walau sangsi bisa menerimanya.
Menyalahkan diri sendiri memang langkah bijak, tapi bukan jalan keluar dari setiap persoalan pak Odi Shalahuddin.
Pola pikir kekuasaan yg didasarkan pada kuantitas massa, paralelisme sejarah, ikatan-ikatan tradisional, dan seterusnya, telah menelikung realita kehidupan bangsa kita yang beragam ini. Dinamika gerak manusia selalu dianggap sebagai kalkulasi-kalkulasi angka, bukan KESADARAN untuk maju bersama-sama.
Salam jumpa pak Odi, baru masuk ke KK nih, ini komentar pertama saya di sini, semoga bermanfaat.
Ya, benar, KESADARAN UNTUK MAJU BERSAMA-SAMA
yang semakin terkikis, sehingga manusia masa kini
tergiring berpikir tentang keamanan dan kenyamanan diri
lalu bersandar di mana ia merasa mendapatkan itu
meloncat-loncat dari satu titik ke titik lain
bagai bajing loncat, itulah yang kerap terjadi..
Ahai, senangnya ada Tante Paku di sini..
selalu sehat semangat, dan hadir dalam tulisan yang menyegarkan..!
Saya pun ikut prihatin, bang.
Sama-sama Kim Foeng..
Keprihatinan kita bersama
Beringasnya toh sudah bawaan yang terpendam
Negara sisa “memfasilitasinya” 😀
heh.e.h.e.he.h.e
met pagi Pak Dozen Armand…
Manstaf 🙂