Sang ‘Mastermind’

Setelah diusir oleh ipar-iparnya, ditinggalkan oleh sekutu-sekutunya, dan dipecat oleh rivalnya, cobaan terburuk bagi Prabowo belum selesai. Dalam bulan-bulan berikutnya, perwira-perwira yang dianggap dekat dengannya dipindahkan atau dicopot dari tugas aktif. Pada 25 Juni, Wiranto mencopot Sjafrie dari jabatannya sebagai Pangdam Jaya, yang menjadi awal dari rangkaian pergantian besar-besaran. Berdasarkan temuan DKP, Komandan Kopassus Muchdi dan seorang kolonel juga dibebaskan dari tugas.

Selain itu, desas-desus terus beredar bahwa Prabowo dan sekutunya terlibat dalam kerusuhan bulan Mei. Pada 23 Juli, Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang terdiri dari 18 orang untuk menyelidiki “otak perencana” (mastermind) di balik kerusuhan di enam kota besar, termasuk Jakarta. Setelah tiga bulan bekerja, TGPF menyimpulkan bahwa penculikan, krisis ekonomi, sidang MPR, demonstrasi, dan penembakan di Trisakti memiliki keterkaitan erat dengan kerusuhan tersebut.

Rekomendasi pertama dari sembilan yang diajukan adalah agar pemerintah menyelidiki pertemuan pada 14 Mei di Kostrad untuk mengetahui peran Letjen Prabowo dan pihak-pihak lain dalam proses yang memicu kerusuhan. Dalam ringkasan yang diumumkan ke media, laporan itu tidak menyebut Prabowo sebagai dalang, tetapi merujuk pada namanya, pertemuan 14 Mei, dan penculikan sebanyak 11 kali. Ini jauh lebih banyak dibandingkan Sjafrie, yang disebut empat kali, atau Wiranto, yang kala itu menjabat sebagai Menhan dan Panglima ABRI, yang hanya disebut sekali dalam konteks penandatanganan dekrit pembentukan TGPF.

Prabowo mengecam insinuasi dalam laporan tersebut. “Apa motivasi kami untuk menghasut kerusuhan?” tanyanya. “Kepentingan kami adalah menjaga pemerintah tetap stabil. Saya adalah bagian dari rezim Soeharto. Jika Pak Harto memerintah tiga tahun lagi, mungkin saya sudah menjadi jenderal bintang empat. Mengapa saya harus membakar ibu kota? Itu bertentangan dengan kepentingan pribadi saya, apalagi prinsip-prinsip saya.”

Ia juga menyoroti logika laporan tersebut. “Bagaimana saya bisa mengadakan pertemuan pada 14 Mei? Kerusuhan sudah dimulai pada 13 Mei. Dan orang-orang yang menemui saya adalah mereka yang dikenal sebagai lawan-lawan Orde Baru,” tegasnya.

Prabowo membantah bahwa dirinya anti-Cina. Menurutnya, seperti banyak orang Indonesia, ia merasa tidak sehat jika suatu minoritas menguasai sebagian besar ekonomi. “Para pengusaha Cina mengira saya ingin menggusur mereka. Padahal model saya adalah Kebijakan Ekonomi Baru Malaysia,” jelasnya. Ketika ditanya apakah ia tidak akan mengobarkan kerusuhan untuk memberi pelajaran kepada etnis Cina, ia menjawab: “Katakanlah Anda tidak percaya pada rasa kemanusiaan saya. Jika kami memusnahkan orang Cina, ekonomi kami juga akan musnah. Itu sama saja dengan bunuh diri. Jika saya yang mengobarkan kerusuhan, mengapa saya tidak dituntut? Beban pembuktian ada pada pihak penuduh.”

Untuk mencari bukti tersebut, koresponden Asiaweek di Jakarta, JM Tessoro, menelaah hasil kerja TGPF. Ia mempelajari salinan laporan lengkap yang terdiri dari enam jilid (hanya jilid pertama, ringkasan eksekutif, yang diberikan kepada pers). Empat dari lima jilid lainnya berisi laporan korban dan kerusakan, kesaksian mata mengenai kerusuhan dan pemerkosaan, serta upaya mendeteksi pola-pola tertentu. Satu jilid lagi memuat transkrip wawancara dengan perwira-perwira militer yang bertugas saat kerusuhan terjadi. Sebagai tambahan, Tessoro berbicara dengan sembilan dari 18 anggota TGPF, serta pengamat politik Hermawan Sulistyo yang memimpin tim terpisah yang terdiri dari 12 orang untuk mengumpulkan data secara langsung.

Sumber :

“Buku Putih” Prabowo [Kesaksian Tragedi Mei 1998]
Penerbit Majalah Berita Populer “TOTALITAS”, Cipayung, Ciputat, Tangerang. Dikutip dari Majalah Asiaweek edisi 3 Maret 2000.

Baca juga : Pemecatan Prabowo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *