Sedekah Setengah – Setengah

smile
foto: www.subulussalaam.org

Tulisan ini menunjuk pada diri saya sendiri. Sudah lama saya tergabung dalam sebuah team majalah komunitas keagamaan. Lamanya itu nyaris mencapai sepuluh tahun. Pekerjaan ini sifatnya voluntary alias tidak dibayar. Anda tahu? Pekerjaan inilah yang pertama menumbuhkan dan menyadarkan, bahwa ternyata menulis adalah bagian dari kepribadian saya. Selama ini menulis saya anggap hobby lucu – lucuan. Pernah ada masanya saya menulis kasar, menghina fisik orang lain dan memaparkan fakta yang mengumbar tentang seseorang. Saya melakukannya dengan bangga, dengan hasrat tak ingin kalah, bahkan sedikit merasa kreatif. Bagi saya menulis kalau terlalu ‘datar’, apa enaknya sih dibaca? Kalau kenyataan busuk, ya paparkan saja! Kalau bisa sinis dan sadis, lebih seru dibaca.

Sementara itu pekerjaan voluntary yang saya lakukan yaitu menjadi crew majalah ini, saya kerjakan dengan sesuka hati. Wong, engga dibayar! Ngapain sih serius amat? Saya kadang datang meeting, kadang engga. Meeting sepuluh kali, saya hanya datang sekali atau dua kali. Pernah setahun atau dua tahun nggak menulis, karena merasa nggak diminta untuk menulis (arogan). Sering mengirim tulisan telat banget, sudah masuk deadline baru deh iseng – iseng nulis. Padahal, Tuhan memanggil saya untuk menulis melalui pekerjaan yang sifatnya voluntary ini. Saya sangat meremehkan titik ketika Tuhan meminta saya ‘menyumbangkan’ waktu untuk Dia. Dengan cara menulis bagi komunitas dan terutama mengedepankan kaidah kebaikan. Sebaliknya saya menikmati keahlian menulis untuk bergossip, berdebat dengan teman – teman, menjelekkan orang, kemudian rame – rame mencibir.

Status saya sebagai crew majalah gratisan ‘on/off’, jika tak suka teman – temannya atau nggak ‘mood’ untuk meeting, saya ogah – ogahan. Padahal kalau dipikir cara Tuhan menegur saya, “Hai, … kamu sudah Kuberikan sedikit keahlian menulis. Pergunakan sebaik – baiknya,…” Itu sangatlah aneh. Saya berdebat di sebuah milis komunitas, lalu seorang pemimpin redaksi mengajak saya bergabung. Ketika bergabung saya memilih menjadi bagian keuangan dan administrasi! Alasannya ‘saya kan sekolah ekonomi?’ Lalu pemimpin redaksi itu terlihat kecewa dan berkata, ‘Anda saya ajak bergabung karena saya lihat Anda mampu menulis dengan cukup relevan dan baik. Masakan sekarang malah ingin mengurus tagihan dan hitungan keuangan?? Padahal kami kesulitan mencari seseorang dengan bakat menulis dan yang mau menyumbangkan waktu untuk majalah ini!” Begitu saya masih protes, “Akh, … tulisan saya ngawur. Nggak ada ujung – pangkal. Bahasa saya kasar dan ngaco, apa enggak memalukan?..” Masih dijawab lagi, “Nanti kami bantu dengan mengedit!”

Baca juga :  Tidak Ada Jalan Toll Menuju Sukses

Itu lebih dari sepuluh tahun yang silam ketika saya heran, “Oh, iya …saya bisa menulis gituhh??..” Lalu saya masih aktif bekerja kantoran, mengharap ada jenjang karir naik perlahan. Ini tidak, statis saja! Seperti berjalan diatas treadmill, nggak kemana – mana! Saya punya cita – cita mulia. Kalau karir saya bagus dan bisnis suami menanjak, saya ingin regular menyumbang dana. Seperti ibu – ibu pejabat menyumbang ke rumah anak yatim. Soalnya dari dulu saya concern dengan pendidikan anak – anak. Lalu saya berpikir kalau sudah menjadi ‘sosialita’ dengan cukup harta, barulah saya juga akan lebih banyak meluangkan waktu untuk kegiatan agama, termasuk lebih rajin menjadi anggota crew majalah yang bersangkutan. Hari ini jika saya ingat, merinding ketakutan. Saya begitu ‘meremehkan’ panggilan Tuhan. Saya tidak diminta menyumbangkan harta, saya hanya diminta menyumbangkan waktu untuk Tuhan. Demikian pun, saya mengacuhkan. Saya berkata pada Tuhan, “Nanti ya,…saya nyumbang kalau sudah berkecukupan..” Dan selama saya bekerja, saya jarang menyumbang dan bersedekah. Alasannya masih belum cukup, padahal saya sering ‘hangout’ dan bergaul dengan teman – teman!

Pimpinan redaksi majalah bergonta – ganti, saya tetap menjalin hubungan baik dengan pimpinan yang pertama, yang ‘menemukan’ bahwa saya bisa menulis. Pimpinan yang sekarang juga sangat baik dan dermawan. Ketika ibu tiada, kantor yang lama, tempat saya bekerja selama empat-belas tahun, mengirim sekuntum kembang pun, tidak! Sementara pimpinan redaksi majalah tempat saya bekerja ‘gratisan’ memesan dua papan bunga yang sangat cantik dan dikirim ke rumah duka di kota kelahiran saya. Papan bunga bagi saya mengesankan bahwa ibu saya adalah ‘orang penting’ dan membuat haru. Ibu bercerai dengan Ayah ketika saya berusia sepuluh tahun. Sejak itu ia menutup diri dan tersisihkan dari pergaulan. Temannya nyaris tidak ada, hanya sebagian kecil orang. Perhelatan kematiannya sunyi, isinya teman – teman saya dan teman – teman adik saya. Mendapat dua papan bunga yang bagus sekali, saya benar – benar bangga. Dan saya berkata ke langit, “Tuh kan, …. Mami orang penting Mam,…!!”

Baca juga :  “Jelita” Tertipu Scammer Cinta yang Mengaku Jenderal Amerika

Begitu pun saya berlaku acuh dan tidak sopan terhadap beliau, pimpinan redaksi majalah yang baru. Kalau diundang meeting atau acara, saya sering ‘mangkir’ datang. Alasannya macam – macam. Dulu alasan utama, saya berkata pada suami, “Saya ini kurang religius. Takutnya saya bosan dan sikap saya kurang baik jika berkumpul dengan orang – orang yang agamis!” Gubraaags! He-he-he,…wouw! Semalam ada meeting crew majalah lagi. Awalnya saya ingin mangkir lagi karena malas, Lola sedang sakit dan sedang ‘nggak mood’. Pimpinan redaksi hanya menjawab singkat, ‘oke-gapapa!’ Saya tahu dalam hati beliau sudah muak dan bosan dengan alasan saya. Kesabaran manusia memang diuji sesungguhnya bukan karena Tuhan, tetapi karena manusia lain. Yang terbaik tahan untuk diuji, sementara yang masih harus belajar justru terus memberikan ujian dengan pongah. Detik terakhir saya lalu memutuskan datang ke meeting tersebut, ikut mendengar dan memberi masukan. Pulangnya saya dengar Tuhan berkata, “Sedekah kok setengah – setengah…. Kamu ini manusianya!” Maka jadilah tulisan ini.

 

 

 

Responses (4)

  1. Sedekan kok setengah, setengah, tapi lumayanlah masih ada setengah hehhe…kalau begitu jangan mangkir lagi ya

  2. heuheu sedekah ya harus setengah-setengah…setengah disini, setengah disana, setengah lagi disitu, setengah lagi buat besok

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *