“Mbak, kamu ke sini sampai kapan? Hari tuamu gimana? Apa harus hidupmu habis di tempat pelacuran ini?”, tanya Usi di sebuah kesempatan berjumpa kaumnya di Dolly, Surabaya. Perkampungan pelacuran terbesar di Asia Tenggara ini, memanglah berpusar pada: Seks, Uang dan Industri.
Perempuan-perempuan malang itu -walau sebetulnya tak malang-malang amat- sebab itu juga pekerjaan dengan latar yang semi formal, semi apresiasi positif-miring, dan salah satu profesi yang tak akan pernah dicatatkan di kementerian tenaga kerja. Gak ada tercantum di KTP:
Nama: Markonah (inisial)
Jenis Kelamin: Perempuan
Pekerjaan: Pekerja Seks?.
Ini perkara laterasi (bukan literasi, red) budaya perendahan kaum Hawa, yang sedari dulu konsisten disebut sebagai penjaja seks, penawar-nawar nikmat transaksi seksual dan lintas budaya wajib mengakui bahwa ini kultur yang senyata-nyatanya, sudah berlangsung se-umur negara Indonesia, ladangnya saja yang nomaden, di Jawa Barat (Saritem), Jakarta (Kramak Tunggak, dulu), Tarakan (Gunung Bakso), Manokwari (Bintang Malam), Makassar (Nusantara), Jogjakarta (Pasar Kembang/Sarkem), Manado (Truly) dan tiada cukup halaman KetikKetik untuk disebutkan deretan nama-nama lokasi pelacuran di tanah air.
Risetnya malah sangat mencengangkan bahwa 13,5 % perempuan bekerja di ‘sektor’ ini, ya pelacur, germo, manajer, pemilik lokasi/company, pelayan bar, cleaning service merangkap pemungut kondom terpakai, dan sampai kepada pemandu bakat di desa-desa dengan siklus yang aduhai apik.
Usi, yang juga direktur sebuah rumahsakit itu, tiada kerontang airmatanya, menyaksikan langsung sekaumnya berada di lokasi jual-beli tubuh. “Mbak, seks itu indah. kenapa harus dijual begini?”. Hahahaha……. seorang direktur LSM yang telah 16 tahun menggeluti dan mengamati gejala sosoal abadi ini, hanya bisa tertawa memandang wajah Usi yang lugu itu. Sekarang Usi paham bahwa tak elok memandang ‘wanita malam’ dengan memiring-miringkannya saja. Sebab, Anda tak tahu, bagaimana cara menolong mereka. Andapun hanya sanggup berpesta cibir-cibiran. Siapakah yang lebih buruk di antara kita: Si Korban ataukah kita yang normal tak mampu lakukan apa-apa untuk mereka? Sedang engkau tahu, mereka juga turunan Adam-Hawa, sama seperti kita ini. Hemmmmmm….Usi hanya terdiam……..!!!
Kalau gak ada yang beli, tentu lama lama gak ada yang jual. Masalahnya malah yang beli suka cari cari.. makanya gak ilang ilang..
nice post
Nah Min
itu kejasama bilateral bukan?
yang beeli kaum adam…. duh….
faktanya selalu ada pekerjaan seperti ini di berbagai belahan dunia. Mungkin sang pencipta punya maksud dibalik penciptaan profesi seperti ini.
tapi aku sendiri jg belum tahu jwaban dr misteri itu. Mungkin pak Armand lebih tahu karena sdh sering riset .. hehehe
:salaman
Heri Purnomo
Kita start di kalimat ini:
“Kita pandang mereka adalah manusia”
Lalu, kita coba menyikapi dengan baik/benar..