Semangat Nasionalisme Masa Kini, Apa Kabar?

Artikel Nasionalisme

Memasuki bulan Mei, kita akan teringat dengan sebuah momentum bersejarah yang tidak bisa dilupakan. Ya, tepat di setiap tanggal 20 Mei, kita akan memperingatinya sebagai hari Kebangkitan Nasional. Jika ditilik dari kacamata sejarah, kebangkitan nasional memiliki makna yang sangat mendalam. Dimana, pada saat itu, semua pejuang bangsa yang ingin memerdekakan bangsa Indonesia mulai tergerak hatinya untuk melakukan perlawanan terhadap segala macam bentuk penjajahan dari bangsa asing yang tidak tahu diri singgah di bumi pertiwi ini.

Berlanjut ke bulan Oktober, kita akan mengingat pula sebuah momentum penting yang telah menjadikan rakyat Indonesia bersatu dalam satu tanah air, bangsa, dan bahasa yang sama, tidak lain dan tidak bukan adalah momentum Sumpah Pemuda. Pun, kita bisa mengingat-ngingat kembali jasa-jasa para pahlawan kita terdahulu dalam berjuang mengusir penjajah dengan rela mengorbankan apapun, hingga nyawa menjadi taruhannya. Kita bisa mengingatnya dalam peristiwa yang terjadi di tanggal 10 November.

Dapat dibayangkan betapa besarnya jiwa nasionalisme yang tertanam dalam diri mereka. Mereka tak pernah gentar dalam mengusir setiap penjajah yang singgah seenaknya di bumi pertiwi. Rasa memiliki terhadap bangsa dan rela berkorban demi keutuhan bangsa tertanam kuat dalam diri mereka.

Lalu, bagaimanakah dengan nasib eksistensi Nasionalisme Masa Kini, Apa Kabar? Sebelum saya mengulas lebih lanjut mengenai nasib eksistensi nasionalisme di masa kini, akan lebih baik jika kita mengetahui ungkapan Bung Karno tentang nasionalisme dalam pidatonya tertanggal 7 Mei 1953 di Universitas Indonesia berikut :

“Nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme sempit (chauvinism) tetapi nasionalisme yang mencerminkan perikemanusiaan (humanism, internasionalisme).”

Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme.”

Ungkapan dari Bung Karno tersebut tentu memiliki makna yang berarti. Nasionalisme tidak hanya terpatok pada cinta tanah air, rela berkorban, dan bela Negara semata yang mengurung diri dengan menolak mentah-mentah bangsa asing dan tidak berani bernegosiasi dengan mereka di kancah internasional, kata nasionalisme disini tidaklah demikian.

Seorang ahli sejarah terkemuka, Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa yang disebut nation dalam konteks nasionalisme Indonesia adalah suatu konsep yang dialamatkan pada suatu komunitas sebagai kesatuan hidup bersama, yang mencakup berbagai unsur yang berbeda dalam aspek etnis, kelas atau golongan sosial, sistem kepercayaan, kebudayaan, bahasa, dan lain sebagainya. Pendapat lain dari seorang Bapak Nasionalisme Ernest Renan mengemukakan bahwa nasionalisme adalah suatu kehendak untuk bersatu sebagai bangsa. Kehendak ini tumbuh karena didorong kesadaran akan adanya riwayat atau penglaman hidup yang sama dan dijalani bersama.

Baca juga :  7 Alasan Sedih Mengapa Anda Menjauhi Orang

Kedua pendapat dari tokoh ternama tersebut memiliki kesamaan. Yakni, terletak pada kata bersatu dan hidup bersama. Ya, kedua kata tersebut memiliki kekuatan yang akan berdampak pada keberlangsungan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Sehingga, jelaslah sudah bahwa jiwa nasionalisme bangsa Indonesia itu muncul karena didasari atas kesadaran nasib, tujuan, dan cita-cita yang sama yang mengharuskan mereka untuk bersatu mewujudkan apa yang diharapkan.

Namun, kita bisa melihat fakta yang berkembang di lapangan masa kini. Masihkah jiwa nasionalisme dijunjung tinggi oleh setiap warga negaranya dengan penuh kesadaran? Apakah kita tidak pernah mengambil sebuah hikmah dari setiap momentum bersejarah yang selalu kita peringati? Apakah kita hanya menganggap momentum itu sebagai seremoni belaka? Ataukah kita telah terkungkung oleh perangkap asing yang sengaja ingin menjajah Indonesia kembali? Mari kita sama-sama berintropeksi diri.

Di masa sekarang ini, banyak sekali kasus-kasus yang tidak layak mem-booming di media. Kita tahu tentang kasus sodomi terhadap anak dibawah umur, kita tahu tentang kasus anak SD yang dipukuli oleh gurunya hingga babak belur, kita tahu kasus anak SMP yang membuat video mesum semakin menjamur, kita tahu kasus anak SMA yang melakukan tawuran, kita tahu kasus Mahasiswa yang melakukan ospek hingga menghilangkan nyawa seseorang, kita tahu kejahatan semakin merajalela, pengangguran semakin menjadi, kemiskinan pun tak terelakan, kasus-kasus dari para petinggi dan pemangku jabatan yang melakukan korupsi pun tidak bisa dihentikan. Inikah potret nasionalisme masa kini ?

Terlebih, di era modern ini, jiwa nasionalisme telah digempur dengan arus globalisasi yang tidak bisa dibendung, sistem demokrasi yang membuat grecok di setiap sisi, dan pemikiran liberalisme yang secara perlahan masuk ke negeri kita. Kita bisa melihat sendiri, hampir sebagian besar produk yang kita kenakan dalam kehidupan sehari-hari sudah bukan lagi berasal dari dalam negeri. Makanan yang kita konsumsi pun perlahan beralih ke makanan cepat saji atau junk food seperti layaknya kehidupan orang-orang barat dan mulai meninggalkan panganan lokal yang sebenarnya tidak kalah dalam cita rasanya.

Baca juga :  Belajar dari Seekor Kucing

Sekali lagi, memang kita tidak boleh menutup diri dan menolak asing mengintervensi rumah tangga Negara kita karena itu bertolak belakang dengan apa yang dikatakan oleh Bung Karno diatas. Namun, kita juga perlu ingat, gempuran-gempuran yang membuat jiwa nasionalisme semakin luntur haruslah disadari. Kita tidak boleh terlena dan terhanyut dalam perangkap yang sengaja dibuat oleh bangsa asing di era sekarang ini. Kita harus melek dan sadar diri bahwa tantangan dalam hal nasionalisme masa kini berbeda dengan masa lalu. Meski begitu, kesadaran akan pentingnya jiwa nasionalisme perlu tertanam dalam setiap diri warga Negara Indonesia.

Masihkah kita ingat dengan kasus Ambalat? Lagu Rasa sayange? Reog Ponorogo dan lain sebagainya yang diklaim oleh Negara lain? Pada saat itu, seakan seluruh masyarakat Indonesia menyuarakan hal yang sama yakni junjung tinggi jiwa nasionalisme. Namun yang menjadi pertanyaan, “mengapa kita baru tersadar setelah hal yang kita tidak inginkan itu terjadi?” Menyikapi berbagai permasalahan yang saya uraikan diatas, pemikiran saya sempat terkoyak dan tergelitik. Seperti inikah memang potret nasionalisme masa kini ?

Think globally Act Locally merupakan sebuah pemikiran yang perlu digalakkan dan ditanamkan dalam diri kita. Dengan artian, kita —bangsa Indonesia— tidak melulu harus menghindari bangsa asing yang berusaha masuk ke wilayah kita, menolaknya dengan mentah-mentah dan mendogma bahwa mereka akan merusak tatanan kehidupan bangsa. Itu bukanlah pemikiran yang bijak. Hal yang perlu dilakukan adalah menyambut mereka —bangsa asing— dengan penuh kesadaran diri, bernegosiasi dengan mereka dalam upaya memajukan bangsa, mensejahterakan rakyat yang pada dasarnya tetap berpegang teguh dengan prinsip-prinsip nasionalisme kita.

Maka, mulailah kita tanamkan dari sekarang pemikiran itu. Ubahlah pemikiran kolot kita dalam mendefiniskan maksud kata nasionalisme secara sempit. Maknai kata nasionalisme dengan cakupan yang luas. Tidak untuk mengurung diri, mengisolasi diri, dan menutup diri dari bangsa luar dengan dalih untuk menjaga kestabilitasian tatanan bangsa. Akan tetapi, berani bernegosiasi dan berdiplomasi di kancah Internasional tanpa melupakan pondasi awal yakni jati diri nasionalisme sejati yang dijunjung tinggi. Jadikanlah itu sebagai gaya hidup yang diimplementasikan oleh semua pihak. Selamat hari Kebangkitan Nasional.

Responses (2)

  1. Untuk mendukung nasionalisme secara luas kita memang tidak perlu menutup diri, tetapi untuk mendukung nasionalisme kita secara luas perlu kepercayaan diri yang kuat dan mengembangkan keunggulan bangsa kita. Nah sekarang ini yang masih menjadi tanda tanya dan semboyan bhineka tunggal ika masih perlu terus didengungkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *