Sengketa HKTI: Prabowo Ngotot, Ada Apa?

Ada satu kasus lagi yang makin mencuat sehubungan dengan Pencalonan Prabowo Subiyanto sebagai Presiden pada pemilu mendatang. Sebagaimana kita ketahui bahwa Prabowo Subiyanto pernah menjabat sebagai Ketua Umum HKTI untuk periode 2004 s/d 2009. Ketika masa jabatan Ketua Umum berakhir, yaitu pada sekitar pertengahan tahun 2010, terjadi gonjang-ganjing di tubuh HKTI yaitu didalam acara MuNas VII di Bali saat akan memilih Ketua untuk periode selanjutnya 2010-2015. Kasus sengketa perebutan kursi kepemimpinan HKTI antara Prabowo Subiyanto melawan Oesman Sapta Odang (OSO) masih berlangsung hingga detik ini.

Namun yang menarik perhatian saya adalah adanya kabar yang cukup mengejutkan banyak pihak bahwa HKTI dibawah pimpinan OSO kemarin, bertempat di gedung Balai Kartini Jakarta mendeklarasikan dukungan mereka kepada pasangan Capres/Cawapres Jokowi – JK.

Yang terlintas dibenak saya adalah bagaimana bisa HKTI yang dulunya pernah di pimpin oleh Prabowo, sekarang malah mendukung Jokowi- JK ?

Sekilas riwayat HKTI

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) didirikan pada tahun 1973 sebagai penggabungan aspirasi dari 14 organisasi masyarakat sebagai satu satunya wadah organisasi petani. Organisasi yang bergabung didalam HKTI kala itu antara lain Warga Tani Kosgoro, RTI SOKSI, Gerakan Tani MKGR, PETANI, PERTANU, IP Pancasila, GTI, PERTA, PERTAKIN, GERTASI, GERTAMI dll Sejak awal pendiriannya, HKTI diketuai oleh oleh Martono yang kala itu sebagai Ketua Warga Tani Kosgoro. Jabatan ketua dijabat terus menerus oleh Martono selama 4 periode yang berkhir di tahun 1994.

Lamanya periode kepemimpinan Martono tidak lepas dari campur tangan Presiden Soeharto mengingat Kosgoro termasuk salah satu unsur cikal bakal Partai Golkar. Kemudian pada periode 1994-1999 diganti oleh Muh. Ismail (mantan Gubernur Jawa Tengah) dan setelah itu sampai dengan tahun 2004, Ketua Umum HKTI dijabat oleh Siswono Yudo Husodo yang mantan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi jaman Orde Baru. Barulah pada periode berikutnya (2004-2009) Prabowo tampil sebagai Ketua.

Awal keretakan di dalam tubuh organisasi HKTI

Tepatnya pada bulan Juli 2010, di Bali sedang diadakan Musyawarah Nasional HKTI ke VII dengan agenda acara utama adalah Pemilihan Ketua Umum untuk periode 2010–2015. Pada waktu itu, ada beberapa nama sebagai calon kuat Ketua Umum antara lain Titik Soeharto (mantan Istri Prabowo); Sutiyoso (Mantan Gubernur DKI); mantan Menteri Pertanian, Anton Apriantono; Djafar Hafsah (Ketua DPP Demokrat), dan anggota DPD, Oesman Sapta Odang, yang juga Ketua Partai Pembangunan Daerah (PPD).

Konon, pada saat itu terjadi perdebatan seru diantara para peserta Munas ketika dilakukan pemilihan calon ketua secara aklamasi. Sebagian peserta Munas beranggapan bahwa pemilihan ketua secara aklamasi telah melanggar AD/ART.

Didalam acara Munas ke VII inilah, HKTI kemudian terpecah menjadi 2 kubu, yakni kubu pendukung Prabowo sebagai Ketua terpilih, dan kubu lainnya yang diprakarsai oleh calon ketua Djafar Hafsah dan Oesman Sapta yang sepakat pada keesokan harinya menggelar Munas Tandingan di Hotel Aston Bali.

Hasil Munas tandingan tersebut akhirnya memilih Oesman Sapta juga sebagai Ketua HKTI. Dengan demikian sejak saat itu, bahtera HKTI memiliki 2 nahkoda, yang mana keduanya, masing masing mengklaim bahwa dirinyalah telah terpilih sebagai ketua umum HKTI yang sah.

Kasus sengketa kursi kepemimpinan HKTI terus bergulir hingga saat ini. Bahkan Prabowo tetap nekad mencantumkan jabatan Ketua HKTI periode 2009 s/d sekarang pada formulir isian Calon Presiden (Form. BB-4 PPWP) yang telah diserahkan kepada KPU. Mengetahui hal ini, kuasa hukum Oesman Sapta, Ketua HKTI versi Munas tandingan akan melapor kepada Bawaslu dan Mabes Polri perihal kasus Penipuan dan Pembohongan Publik yang dilakukan oleh Prabowo, terkait pencantuman data Ketua HKTI di Form Pendaftaran Capres tersebut.

Baca juga :  Mengundang Energi Positif

Saling gugat dan saling tuntut

Kasus gugat menggugat ini dipicu oleh turunnya Surat Pengesahan Akta Pendirian HKTI yang diam diam diurus oleh kubu Oesman Sapta, dimana hasil munas VII yang didaftarkan pada Kementerian Hukum dan HAM, adalah yang dilaksanakan di Hotel Aston Bali (versi tandingan). Disini Prabowo jelas merasa kecolongan dan dia kalah cerdik dibanding Oesman Sapta.

Kubu Oesman Sapta tak banyak menunggu waktu. Tak lama setelah Munas di Bali, mereka langsung mendaftarkan hasil keputusan Munas itu ke KemenHukHAM dan segera memperoleh pengesahan melalui SK MenKumHAMNomor : AHU-14.AH.01.06 . Tahun 2011 tertangga l 18 Januar i 2011 ten tang Pengesahan Himpunan. Sebaliknya kubu Prabowo makin geram dan tidak terima dengan terbitnya surat pengesahan itu dan kemudian menempuh jalur hukum dengan melayangkan gugatan ke PTUN.

Materi dan obyek gugatannya adalah, bagaimana bisa MenKumHAM menerbitkan Surat Pengesahan Akta Pendirian dan mengesahkan pengurus HKTI versi Munas tandingan, sedangkan asli aktanya masih dipegang oleh kubu Prabowo.Pihak Oesman Sapta dituduh membuat akta palsu oleh Kubu Prabowo dan digugat melalui PTUN.

Namun usaha Tim kuasa hukum Prabowo sia sia, sebab Mahkamah Agung menilai mereka salah alamat. Bila yang di sengketakan adalah Akta Pendirian palsu yang digunakan oleh pihak Oesman Sapta dalam rangka permohonan pengesahan akta di KemenKumHAM, maka seharusnya dilaporkan saja ke pihak Kepolisian karena adanya praktik pemalsuan dokumen, agar bisa diproses melalui Pengadilan Negeri. PTUN dalam hal ini tidak berwenang mengadili kasus pemalsuan dokumen.

Pihak Prabowo juga menuntut agar Oesman Sapta tidak menggunakan logo HKTI dalam surat menyurat, dan mengkalim bahwa pemilik hak atas Logo HKTI masih dikuasai oleh Prabowo sebagai Ketua umum. Kasus ini juga sampai terbawa ke pengadilan, dan sampai sekarang masih belum jelas kepastiannya. Bahkan pada website HKTI.ORG pun, wajah Prabowo Subiyanto masih jelas terpampang dihalaman muka sebagai Ketua Umum HKTI didampingi Fadli Zon sebagai Sekretaris Jenderal.

Kubu Oesman Sapta ‘Maju Tak gentar’

Sebagai pihak tergugat, Kubu Oesman Sapta tak sedikitpun gentar. Mereka bahkan menyampaikan bukti bukti kuat lainnya yang menyatakan bahwa apa yang dilakukannya sejak membuat munas tandingan adalah merupakan hasil rapat yang juga dihadiri oleh mantan Ketua Siswono Yudo Husodo yang saat itu menjadi anggota Badan Pertimbangan Organisasi (BPO) dan beberapa anggota Dewan Pimpinan Nasional (DPN). Bahkan pelantikan Pengurus HKTI yang diketuai Oesman Sapta juga telah dilaksanakan dengan mengundang para pejabat dan mengundang tamu dari luar negeri. Hal ini tentu makin mendukung eksistensi mereka sebagai Pengurus HKTI yang sah

Mengapa posisi Ketua Umum HKTI masih diperebutkan Prabowo ?

Sebagai organisasi kemasyarakatan terbesar dan satu satunya dinegeri ini yang membawa aspirasi jutaan orang para petani kita, HKTI telah mampu membuka jaringan di hampir seluruh propinsi di Indonesia. Tujuan utama didirikannya HKTI sejak tahun 1973 adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesejahteraan, harkat dan martabat insan tani, penduduk pedesaan dan pelaku agribisnis lainnya. Jadi tak heran bila jabatan Ketua organisasi ini menjadi begitu bergengsi, terlebih lagi dalam masa kampanye Presiden seperti sekarang ini.

Baca juga :  Merintih Dalam Kaya

Pastilah publik menilai bahwa bila seseorang sedang menjabat sebagai Ketua HKTI, tentu setidaknya akan memperoleh banyak dukungan dari para anggotanya yang seluruhnya adalah petani. Bukankah penduduk Indonesia mayoritas adalah petani ?

Namun apa yang terjadi sesungguhnya tidaklah demikian. Maksud saya, HKTI adalah termasuk organisasi sosial/kemasyarakatan, dan sama sekali tidak bergerak dibidang Politik. Siapapun yang menjadi Ketua, termasuk Prabowo, tak akan bisa menunggangi HKTI sebagai kendaraan Politik, terlebih sekarang ini dimasa kampanye.

Sebagai buktinya adalah ketika Prabowo dicalonkan sebagai Cawapres mendampingi Megawati pada pemilu 2009 lalu, perolehan suara Partai Gerindra (yang juga di pimpin oleh Prabowo kala itu), tidak cukup tinggi, hanya 4,46 %. Lalu kemanakah larinya potensi perolehan suara yang berasal dari tubuh organisasi HKTI ? Hal ini sudah jelas menyatakan bahwa jabatan sebagai Ketua Umum sekalipun, tak akan bisa diharapkan untuk menunjang kepetingan politiknya.

Berebut Kursi Ketua HKTI bagaikan berebut ‘Pepesan Kosong’

Menurut saya, untuk apa lagi Prabowo masih ngotot untuk bertahan sebagai Ketua HKTI ? Apakah dipikirnya dengan tetap menjadi Ketua HKTI akan bisa mendulang suara berlimpah untuk mendukung kemenangannya di Pilpres mendatang ?

Prabowo nampaknya terlalu berlebihan bila masih mau bertahan dalam sengketa ini. Bila kita mau lebih dewasa dalam menyikapi masalah, apa sih sebenarnya tujuan seseorang menjadi Ketua HKTI ?

Ingin mensejahterakan anggota HKTI yaitu para petani atau sebaliknya akan menggerakkan petani untuk mendukung Ketua HKTI agar jadi Presiden ?

Bila tujuannya adalah untuk mensejahterakan petani, bagaimana bisa, bila sampai detik ini yang dipikirkan bukannya bagaimana merealisasikan visi dan misi sebagai Ketua Umum, tetapi malah sibuk mencari cari kesalahan lawan dan bukti lainnya untuk memperkuat gugatan di Pengadilan.

Prabowo telah banyak kehilangan waktu dan biaya bila terus berkutat dengan kasus persengketaan di Pengadilan. Akhirnya siapa yang menjadi korban ? Tentu saja petani kita yang tergabung di dalam HKTI. Mereka pasti akan merasa ditelantarkan, tak ada yang mengurusi, sebab para elit organisasi justru sibuk mencari pembenaran dan pemenangan untuk diri sendiri.

Prabowo telah lupa, bahwa dia pernah menemui kenyataan bahwa dukungan langsung dari para petani dibawah naungan HKTI tidak cukup signifikan dalam menyumbang suara kepada partainya dimusim Pemilu 2009 lalu. Dan mengapa pula masih ngotot bertahan untuk menjadi Ketua, dengan alasan klise mempertahankan hasil Keputusan Munas yang sah ?

Atau bilapun tak banyak yang bisa disumbangkan untuk organisasi, setidaknya publik menilai bahwa Prabowo Subiyanto secara politik dapat dinilai sedang berada dipihak rakyat dengan menjadi ketua HKTI ?

Entahlah, sebagai rakyat biasa, saya hanya bisa menonton dari layar kaca.Saya makin tak bisa mengerti, mau kemana para politikus negeri ini. Manuver politik memang sulit dipahami.

Terserah anda saja, bagaimana menilainya.

Salam..

sumber gambar : theindonesianinstitute.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *