Seseorang bertemu dengan penulis, kelewat mengangkat-angkat kelebihan fisiknya, hidung yang bangir, bibir ranum, mata yang menawan, serta bentuk alis yang menawan. Orang ini, ngoceh habis soal rupanya dan sekitarnya, hanya bagian ini yang dia sanjung-sanjung. Sedang onderdil yang lain tiada digubris. Seolah tubuhnya itu terpenggal-penggal, satu sama lain, tiada kerja sama.
Seolah lagi,dada, perut, jantung, paru, ginjal dan piranti lainnya yang tak tampak, tiada menjadi atensinya. Dan seorang yang menyaksikan one man show itu, berujar begini:
“Kamu ini angkuh sekali, bangga-bangganya dengan indahnya tubuhmu. Lupa siapa yang ciptakan. Sesungguhnya apa jadinya jika tulang-belulangmu itu tak dibungkus daging? Apa pula jadinya jika ususmu itu tak ditopang kulit perut. Pasti berhamburan ususmu dan repotnya kamu menggunakan pakaian”.
Itu kutipan dari seorang sufi besar yang pernah hidup di dunia ini. Beliau hobi meraba-raba kekurangannya yang diperbaiki oleh Tuhannya. Tuhan memformat sedemikian rupa hingga rambut yang sesungguhnya merepotkan tetapi begitu indah kelihatan, kuku kaki dan kuku jemari tangan, dipikir-pikir apa manfaatnya. Nun jauh di sana, betapa jeleknya jemari tanpa kuku.
Hadiah-hadiah gratis dari Tuhan, kita kok malah mencampakkannya, tak menjaga amanah dan pemberian itu. tiada alasan untuk tak merawatnya termasuk alasan kesehatan. Lantas, mengapa kita yang memiliki tubuh dan rupa yang cantik, tampan, tiada pernah mau rela-rela menyukurinya walau kita tahu syukur itu adalah ketampanan sesungguhnya.
Belum lagi kerabatnya, menggila-gilakan mercy barunya, rumah barunya, apartemennya, dan kolam renang pribadinya yang hektaran luasnya. Hemmm, loe mau apa jika saja Tuhan buat penyok tuh mobil mewah, terus bakar-bakar tuh rumah elit, dan keringkan air kolam renang itu, dan tiba-tiba saat kering, anakmu mati mengenaskan di dasar kolam. Itu hanya sekejap jika Tuhan maui. So, jangan sombong begitu sebab itu melukai ‘perasaan’ Tuhan^^^
— sabar ya Bang hihihi,.. lain kali baca tulisannya Pramoedya Ananta T, Marah Roesli, Akhmad Tohari, Umar Kayam..jadi berasa beda membaca karya ‘penulis’ dengan ‘pentulis’..
hemmmmmm abang sudah baca ludes tuh
wkwkwkwk