Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Sekarang telah menjadi pilihan utama bagi segenap elemen untuk menyuarakan pandangannya. Di kawasan ini, pada saat terjadi kasus-kasus yang mengemuka di tingkat lokal dan nasional, dapat dipastikan akan ada kelompok-kelompok yang hadir, menyebarkan selebaran, memampang poster-poster, spanduk, dan orasi-orasi, yang akan ditutup dengan pembacaan Pernyataan Sikap. Jumlah peserta aksi beragam. Puluhan orang, ratusan orang, ribuan bahkan hingga puluhan ribu orang, pernah terjadi, tergantung dari isu dan kesiapan penyelenggaranya untuk mengkonsolidasikan berbagai elemen. Sebagai titik pusat aksi-aksi yang berlangsung di Yogyakarta, seingatan Kobar baru terjadi pada masa reformasi. Pada masa sebelumnya, Kobar mencatat ada tiga aksi yang memusatkan kegiatannya di seputaran titik nol. Pertama, aksi menentang penggusuran gedung Senisono yang lokasinya memang di titik nol, kedua, aksi menentang Undang-undang Lalu Lintas (UULL) yang diselenggarakan oleh Komite Solidaritas untukTransportasi Darat (KOSTRAD) dengan aksi mogok makan yang dilakukan oleh seorang aktivis mahasiswa UGM, Aji Kusuma, yang bila tidak salah berlangsung selama satu minggu dan ketiga, saat aksi sejuta manusia pada tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum Soeharto menyatakan pengunduran dirinya.
Kobar mengingat-ingat, tampaknya aksi yang dilakukan oleh KOSTRAD adalah aksi pertama turun ke jalanan dengan menentang arus lalu-lintas sepanjang Malioboro. Ya, di hari ketujuh, saat memutuskan untuk long-march ke DPRD, di tengah perjalanan, sepasukan tentara telah menyergap para peserta aksi.
Tentara? Ya, tentara senantiasa hadir dalam setiap aksi-aksi jalanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa, atau gerakan kelompok masyarakat yang tengah menjadi korban kekuasaan dan gerakan kelompok masyarakat sipil lainnya. Hal tersebut dapat terjadi karena pada masa itu dikenal adanya dwi-fungsi ABRI. Sekarang telah dicabut, dan ada pemisahan antara tentara dengan kepolisian. Kewenangan menjaga keamanan mutlak berada di tangan kepolisian, sedangkan tentara sebagai alat pertahanan negara.
Kini, siapa saja dapat menyampaikan aspirasinya melalui aksi demonstrasi di jalanan. Salah satu buah manis dari kejatuhan rejim Orde Baru adalah adanya kebebasan warganegara untuk berdemonstrasi, tanpa dihantui ketakutan akan digebuk oleh tentara atau polisi lagi. Tampaknya, terror-teror terhadap aktivis pro demokrasi dan HAM, dengan melakukan penekanan terhadap keluarga para aktivis sudah tidak terjadi lagi. Bukan jamannya. Hanya masalahnya, kerapkali justru masyarakat sipil harus berhadapan dengan kelompok masyarakat sipil lainnya yang tidak sepakat dengan aspirasi yang tengah diperjuangkan. Bentrok atau lebih tepatnya penyerangan oleh sekelompok orang kerap terdengar.
Bisik-bisik yang senantiasa terdengar, aksi massa juga telah menjadi bagian dari strategi atau kepentingan kekuatan tertentu dalam berhadapan dengan kekuatan lain. Aksi massa tanpa kesadaran yang mencerahkan untuk mencapai tujuan bersama, namun digerakkan untuk kepentingan sesaat dengan imbalan bayaran, itu yang konon banyak terjadi pada masa-masa sekarang. Menyedihkan memang.
Kobar memperbaiki posisi duduknya yang semula bersandar penuh, kini membungkuk ke depan dengan kedua tangan menopang dagunya. Matanya menatap ke depan, tapi pikirannya masih saja melayang. Sekelompok pengamen yang tengah berkeliling ke tiap kerumunan, samar terdengar alunan lagu yang tiada asing bagi dirinya dan juga bagi orang-orang yang aktif pada aksi-aksi massa, yang membuat pikirannya kembali ke kinian. Ia menoleh ke arah kelompok pengamen tersebut. Secara spontan, bibirnya bergerak mengikuti lagu yang tengah dinyanyikan.
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Padamu kami berjanji
Ya, refferance dari lagu “Darah Juang” yang liriknya digarap secara keroyokan. Ada banyak versi tentang bagaimana terciptanya lagu tersebut yang dipersiapkan untuk kongres pertama Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY). Beberapa nama disebutkan turut memberikan kontribusi kata-kata. Budiman Sudjatmiko dalam bukunya “Anak-anak Revolusi” menyinggung pula tentang terciptanya lagu tersebut. Dadang Juliantara yang dinyatakan membuat lirik awalnya di white board. Lagunya dibuat oleh Jhonsoni Tobing. Kemudian ada kontribusi dari kawan-kawannya yang lain. Lagu yang dipopulerkan oleh aksi-aksi jalanan dan telah menjadi salah satu lagu perjuangan yang seakan wajib dinyanyikan dalam aksi-aksi apapun dan oleh siapapun.
Kobar merasa beruntung pada masa-masa lalu berkesempatan turut hadir menyaksikan berbagai aksi jalanan, mengenal sebagian dari para tokoh-tokoh “radikal” yang menyemangatinya untuk melakukan hal yang dapat dilakukan di komunitas kecil. Memang, diingatnya, jangankan hadir sebagai peserta aksi, sebagai penonton-pun perasaan tegang menyelimuti. Puluhan atau ratusan tentara dan polisi dapat berjaga-jaga dan bersiap membubarkan aksi. Bila terjadi pembubaran, maka pastilah dilakukan secara brutal, dan penonton, dapat pula menjadi korban kekerasan fisik.
Terlibat dalam aksi jalanan, dibutuhkan keberanian lantaran resiko “digebuk” sudah pasti menyertai. Intimidasi melalui pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan diri dan keluarga bukan hal yang aneh dan mengada-ada. Kobar yakin, para aktivis pada masa-masa itu, sebagian besar keluarganya pasti pernah diteror oleh aparat-aparat kekuasaan. Sungguh luar biasa, mereka-mereka yang memiliki keberanian dan menyatakan sikap keberpihakan menuju perubahan berhadapan dengan kekuasaan otoriter. (BERSAMBUNG)
Odi Shalahuddin, Yogyakarta, 28 Desember 2013
Bagian (4) dari (draft) GEJOLAK RASA DI TITIK NOL
Bukan, ini web blog keroyokan… Banyak penulis di sini… Dan saya baru juga daftarnya… Ayo ikutan meramaikan…
jadi inget pas saya ikut lari terbirit-birit karena dikejar-kejar aparat bersenjata yg membubarkan demo di UGM tahun 1998…aparat mengejar kami sampai masuk kampung-kampung sekitar kampus, dan tak peduli jika harus melepaskan tembakan…
Ya..ya.. banyak korban juga pada saat itu ya… Mbak Ayu Larasati.. termasuk anaknya Seno Gumira..
Manstaf 🙂