Pusat Prakiraan Cuaca sudah menyiarkan bahwa minggu ini Jakarta akan diguyur hujan ringan. Semua orang menyambutnya dengan riang. Hujan ringan memang selalu memberikan keceriaan. Guratan pelangi, angin sejuk, dan gulungan awan. Semua itu adalah pemandangan yang begitu ditunggu.
Dengan malas Dimitri menguap. Madeira sudah membuka tirai jendela kamar. Tak ada intipan sinar mentari. Yang ada hanya temaram di dalam ruangan. Dimitri menatap gulungan awan jauh di atas jendela kamar apartemennya yang berada di lantai 215. Sekali lagi dia menguap.
Entah kenapa hari ini dia hanya ingin bermalasan. Hanya ingin duduk di depan jendela. Memandang gulungan awan. Gurat indah pelangi. Dan menikmati secangkir kopi. Rasanya tak akan sia-sia membuang waktunya yang sangat berharga untuk sehari saja menikmati kehidupan yang dia miliki.
“Madeira, satu espresso con panna,” perintahnya pada Madeira sebelum dia menghilang di balik pintu kamar mandi.
Madeira segera meluncur ke pantry dan menyiapkan kopi pesanan Dimitri. Ketika dia kembali ke kamar Dimitri dengan membawa secangkir espresso con panna, Dimitri sudah siap di depan jendela. Duduk santai di atas kursi malas sambil memangku sebuah piring kecil berisi bulatan-bulatan jelly rasa tiramisu. Madeira meletakkan cangkir kopi itu, kemudian berlalu.
“Stereo on,” ucap Dimitri pelan.
Segera saja alunan musik lembut menggema di seantero ruangan redup itu. Dan seolah mengerti, hujan pun merinai seperti diiringi orkestra. Liris. Indah. Membuat Dimitri terbuai dan memejamkan mata sejenak.
* * *
“Papa!”
Dimitri mengacuhkan suara itu.
“Papa!”
Suara itu cukup mengganggunya, tapi Dimitri enggan membuka mata.
“Papa!” dan suara itu diikuti dengan tarikan keras pada tangannya.
Dimitri membuka mata. Seketika dia terperangah.
Seorang gadis kecil berambut kriwil, berpipi bulat, dan bermata binar tengah menatapnya dengan jengkel. Blank! Serasa tak ada yang bersisa di dalam otak Dimitri.
“Papa, kalau Papa tidur terus, kapan proyekku akan selesai?” omel gadis kecil itu. “Ingat, Papa sudah janji mau membantuku.”
Dimitri tersentak. Papa? Dia bilang Papa? Ditatapnya sekeliling kamar. Dan segalanya langsung membuatnya pusing.
Ke mana hilangnya suasana temaram yang tadi dinikmatinya? Ranjang besarnya yang diselimuti bed cover berwarna krem-hitam? Dan langit di luar sana? Dimitri menoleh ke luar jendela.
Ha? Pohon mangga? Ke mana hilangnya gulungan awan dan sejumput pelangi? Juga rinai hujan yang menuruti dinamika orkestra?
Dan gadis kecil ini? Dimitri balas menatapnya. Gadis itu sedang menunggunya bergerak. Pipi bulatnya tampak makin penuh karena dia kini cemberut.
Sebelum Dimitri membuka mulutnya dan bersuara, sesosok perempuan cantik melenggang masuk ke kamarnya. Memberinya seulas senyum cerah yang cukup memabukkannya.
“Dewangga,” ucap perempuan itu. “Bangun dan segera bantu Chatra menyelesaikan proyeknya. Aku mulai pusing dengan segala barang yang bertumpuk di ruang belajarnya.”
Dewangga? Aku Dewangga?
Dimitri tak sempat lagi berpikir karena tangan mungil Chatra sudah menariknya dengan tak sabar. Diikutinya juga langkah Chatra menuju ke ruangan lain. Segala benda tampak menyebar tak beraturan.
Dengan putus asa Dimitri menatap Chatra. “Sebenarnya kamu mau bikin apa, Nak?”
“Ini,” dengan mata dipenuhi binar gadis kecil itu menunjukkan jarinya ke segala arah. “Aku mau bikin miniatur tata surya, Papa.”
Demi melihat binar itu, Dimitri pun luluhlah sudah. Pada akhirnya larut dalam sebuah dunia anak kecil yang sudah cukup lama ditinggalkannya. Sebuah rasa yang tidak terlalu asing, karena seutuhnya gadis kecil itu mirip sekali dengan Achilla saat seusianya. Pun ketika perempuan cantik yang tadi datang ke kamarnya itu turut bergabung.
Ada denting-denting yang meliar dalam dada Dimitri. Sebuah rasa yang sulit dia kendalikan. Kasih sayang. Kedekatan. Kehangatan. Penghargaan. Semuanya menyatu bagaikan bulatan roda yang sejenak menyeretnya kembali ke masa kecil yang indah bersama ayahnya, ibunya, dan Achilla.
Sebuah keluarga.
Dimitri menatap perempuan itu. Istrinya. Ibu dari gadis kecil lucu bernama Chatra itu, putrinya. Ada dentaman liar di dalam dadanya. Apalagi ketika perempuan itu balik menatapnya dan mengirimkan seulas senyum penuh cinta.
“Papa!”
Suara itu memecahkan keindahan yang sedang dibingkai oleh Dimitri dalam kedalaman pikirannya.
“Ya, Sayang?” Dimitri menoleh.
“Lihat ini,” Chatra menunjukkan sehelai kertas yang tadi digambarinya. “Ini proyek kita bertiga, jadi aku menggambarnya seperti ini.”
Dimitri mengambil dan mengamatinya. Hm… Karya bersama Chatra, Papa Dewangga, Mama Petra.
“Petra…,” gumam Dimitri tanpa sadar.
“Ya, Sayang?”
Sahutan dari sebelah kirinya itu membuat Dimitri menoleh. Wajah perempuan itu begitu dekat dengannya. Petra.
“Kamu lapar?” tanya Petra. “Tunggulah di beranda samping, aku akan siapkan makan siang untuk kita.”
Dimitri tak mampu menjawab.
Dan sebuah kehidupan yang begitu asing kembali menyergapnya. Rumah mungil yang menapak tanah. Beranda samping yang penuh dengan anggrek. Menghadap sebuah pohon mangga yang mulai berbunga. Membuat Dimitri seutuhnya menghirup kesegaran itu dengan segenap jiwanya.
Dipejamkannya mata. Membiarkan semilir angin menggoyangkan pucuk-pucuk rambut yang jatuh di keningnya.
* * *
“Tuan…”
Dimitri langsung tersentak. Suara itu tak asing. Dia pun membuka mata. Madeira berdiri tegak di depannya, membuatnya terbelalak.
“Nona Achilla ada di luar,” ucap Madeira.
Dan Dimitri langsung mengedarkan pandangannya berkeliling. Kamarnya sendiri. Bukan beranda yang indah itu. Dimitri mengerjapkan mata dan berdiri. Sehelai kertas jatuh dari pangkuannya.
Dimitri membungkuk dan memungutnya. Ketika dia mengamati isi kertas itu, dia langsung menggigil. Gambar itu… Tulisan itu… Yang tetap dipegangnya ketika dia pergi ke beranda.
Chatra, Papa Dewangga, Mama Petra.
Kalau bukan mimpi, lantas apa?
Dimitri terdiam sejenak. Kemudian menyelipkan kertas itu ke dalam map dokumen penting di dalam lemarinya. Dan beranjak keluar. Menemui adik kesayangannya, Achilla.
* * * * *
:2thumbup
Hehehe… Makasih, Pak Kate…
masih lanjooot nih akuuu..