Badai yang menggila di luar membuat Achilla gagal menikmati sore harinya di sebuah space tavern di Super MetroMall. Terlalu riskan mengendarai space car-nya di tengah badai listrik tahunan seperti ini. Memakai teleporter? Bisa. Tapi apa asyiknya kemudian ngopi di tengah pemandangan badai di sekeliling space tavern?
Iseng, dipencetnya tombol nomor 1 pada superphone-nya. Beberapa detik kemudian sebuah hologram muncul. Sosok Dimitri terlihat mungil, tampak berada di depan meja kerjanya.
“Ada apa, Chil?”
“Sedang apa?”
“Tidur.”
Achilla cemberut. Dimitri menyambutnya dengan derai tawa.
“Pasti partitur lagu baru.”
“Iya, kamu tahu pekerjaanku. Oh ya, Chil, aransemenmu yang kemarin aku rombak sedikit. Kutambahkan crescendo pada beberapa brass section. Tapi tidak apa-apa kalau kamu tak setuju.”
“Coba nanti kamu kirim kembali padaku, Dim. Biar aku check dulu.”
“Oke!”
“Ya sudah, kamu kembali bekerjalah, maaf aku mengganggu Master Violin sibuk sepertimu.”
“Hahaha… Kamu ini seperti dengan orang lain saja.”
Achilla meringis. Ditekannya tombol OFF. Seketika hologram Dimitri menghilang.
Berbicara dengan Dimitri selalu menyenangkan. Achilla bisa berjam-jam berdiskusi tentang melodi, partitur, aransemen, dan segala hal yang berbau musik dengan Dimitri. Tapi obrolan akan segera macet bila topik berpindah pada sepotong nama. Adler.
Dimitri dan Adler memang bagaikan antibiotik dan bakteri. Dengan segala cara Dimitri berusaha menjauhkan Achilla dari Adler. Tapi tak pernah berhasil. Achilla telah terpenjara dalam pesona Adler. Membuat Dimitri kehabisan akal. Tak tahu lagi bagaimana harus menjauhkan adik tunggalnya itu dari Adler.
Achilla bukannya tak mengerti Dimitri membenci Adler. Tapi dia sudah dewasa. Sudah punya kehidupan sendiri. Membuatnya bebas menentukan pilihan dengan siapa dia harus bergaul. Dan buatnya Adler adalah sosok yang baik. Pengusaha muda yang mapan, menyukai musik, bahkan punya toko alat musik terbesar di Singapore.
Apa sih yang membuat Dimitri begitu anti Adler? Achilla hanya bisa menggelengkan kepala. Apalagi alasan Dimitri benar-benar tidak ilmiah. ‘Tidak suka ya tidak suka saja. Titik. No reason.’ Begitu yang dikatakan Dimitri, membuat Achilla enggan bertanya lagi.
* * *
Baru saja Dimitri hendak menyuap es krim ke dalam mulutnya, superphone-nya berbunyi. Sebuah pesan suara terdengar begitu Dimitri berkata pendek, “On!”
“Hai, Dim, aku punya violin bagus. Kamu lihat dulu. Soal bayar gampang. Check teleporter-mu ya? See you!”
Dimitri mendengus. Selalu ada cara ‘manis’ Adler untuk ‘menyuap’-nya. Beberapa kali memang dia ‘terpaksa’ membeli alat musik dari Adler. Terpaksa, karena mutu dagangan Adler memang luar biasa, terutama untuk alat musik langka berasal dari berabad-abad lampau.
Alarm teleporter yang berbunyi terus dalam nada rendah selama beberapa menit membuat Madeira menerobos masuk ke dalam kamar Dimitri. Pintu kapsul teleporter terbuka begitu Madeira menekan tombol OPEN. Sebuah kotak tergeletak di lantai kapsul teleporter. Madeira mengambilnya, kemudian membawa kotak itu pada Dimitri.
“Ada kiriman.”
“Taruh saja di situ,” balas Dimitri acuh tak acuh. “Buka saja kalau kamu mau.”
Tanpa menunggu lama Madeira membuka kotak itu. Sekilas Dimitri meliriknya. Dan dia memutuskan untuk tidak jadi membuang muka.
Dimitri meraihnya. Sebuah violin kuno. Violin akustik. Buatan Guadagnini. Dari tahun 1783. Seketika Dimitri tertegun. Violin Guadagnini di tangannya ini bisa dia pastikan barang asli. Kali ini rupanya Adler tidak main-main. Mata Dimitri menyipit. Ada alarm yang berbunyi di kepalanya. Juga sebuah perasaan tak nyaman.
Buru-buru dia meraih superphone-nya. Begitu hologram orang yang dihubunginya muncul, Dimitri segera berbicara panjang lebar.
“Oke, aku ke tempatmu sekarang,” ucap orang itu mantap.
Dimitri mengangguk sambil menekan tombol OFF.
* * *
Penangkapan Adler oleh Pusat Keamanan membuat Achilla menangis hingga matanya bengkak. Ada rasa bersalah berkecamuk dalam hati Dimitri. Paling tidak, Adler tertangkap karena laporannya pada Doner, pamannya, seorang petinggi Pusat Keamanan.
Sudah lama Dimitri mendengar ada sindikat lintas waktu yang mencuri dari masa depan dan menjual barang-barang antik dari masa lalu itu. Dan Adler adalah salah satu penadah khusus alat musik. Sebetulnya yang dijualnya tidak melulu barang haram. Tapi kali ini memang dia harus terpeleset. Berharap Dimitri yang termasuk kolektor violin itu membeli dagangannya tanpa curiga, namun Dimitri justru menjebloskannya dalam penjara kerja sosial selama 20 tahun.
Sebetulnya Dimitri tak pernah curiga Adler adalah penadah barang curian lintas waktu itu. Tapi beberapa waktu yang lalu dia pernah melihat violin yang sama berada di tangan Archibald Jay-Cardius, temannya sesama violin master. Tak mungkin barang yang sama ada pada waktu yang bersamaan pula.
Archibald pula yang buru-buru berlari ke kapsul teleporter di rumahnya setelah dihubungi Dimitri. Seketika dia memastikan itu adalah barang yang sama dengan miliknya. Rupanya violin Guadagnini itu berasal dari masa depan. Entah milik siapa. Hanya Pusat Keamanan yang tahu, dan mereka menyembunyikan informasi itu.
“Kamu menang, Dim,” ucap Achilla, masih setengah terisak.
“Maafkan aku, Chil,” ucap Dimitri penuh penyesalan.
“Tapi dia memang bukan yang terbaik untukku, kan?”
“Akhirnya kamu tahu.”
Achilla meringkuk dalam pelukan Dimitri. Sedewasa apapun, terkadang dia masih butuh Dimitri yang jauh lebih dewasa dengan segala perasaannya yang peka. Seharusnya dia mendengarkan Dimitri.
Bunyi alarm teleporter yang dibiarkan selama beberapa menit membuat Madeira meluncur cepat ke arah kapsul itu. Ditekannya tombol ON. Sebuah paket besar tergeletak di dalam kapsul teleporter. Madeira membawa bungkusan itu pada Dimitri.
“Ada paket.”
“Buka, Madeira.”
Tanpa membuang waktu Madeira membuka paket besar itu, kemudian menyingkir. Membiarkan Dimitri dan Achilla melihat isinya.
Achilla terbelalak. Sebuah alat musik aneh tergeletak diam di dalam bungkusan yang sudah terbuka atasnya itu. Dimitri meraihnya. Diserahkannya violin itu pada Achilla. Dia kemudian menekan tombol putih pada sebuah kotak di dalam paket. Ada suara yang lembut kemudian terdengar.
“Master Dimitri, kami berterima kasih karena Anda sudah mengembalikan violin Guadagnini curian milik keluarga kami yang sudah kami miliki secara turun-temurun. Sebagai tanda terima kasih, kami kirimkan sebuah violin elektrik produk terbaru kami. Violin itu kami buat hanya satu-satunya, khusus untuk Anda. Kami berharap Anda senang menerimanya. Salam, Erica Jay-Cardius.”
“Wow! Keturunan Archibald?” Dimitri membelalakkan matanya.
Achilla tersenyum dan menggelengkan kepala melihat bentuk violin itu. Sangat artistik. Terlihat seperti sebuah mainan. Tapi ketika dia mencobanya, alunan yang keluar begitu indah menggema di seantero studio Dimitri. Sambil menikmati permainan adiknya, Dimitri meraih sertifikat yang ada di dalam kotak violin artistik itu. Dibacanya pelan-pelan.
Violin Cluridius seri 001-1, dibuat khusus oleh Jay-Cardius and Co, untuk Master Dimitri.
Dimitri tersenyum. Nama yang aneh, ucapnya dalam hati.
* * * * *
masih terseponaaah :flower: