Alarm yang sudah berbunyi untuk kesekian kali akhirnya berhasil membangunkan Dimitri. Laki-laki itu langsung melotot begitu melihat ke arah jam digitalnya. 08.20. Sudah terlambat untuk berangkat ke konservatorium. Sepuluh menit lagi audisi akan dimulai. Dan reputasinya sebagai Violin Master yang super disiplin tampaknya harus rontok kali ini.
Dalam hati dia mengutuki keputusannya untuk menonaktifkan Madeira, robot android pengurus rumahnya, semalam. Semua pasti beres kalau Madeira aktif. Tapi tak ada lagi gunanya menyesal sekarang.
“Bathroom on!” teriaknya sambil berlari ke kamar mandi.
Dan acara mandinya beres dalam tiga menit. Kinclong dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sambil berlari pula Dimitri menuju ke lemari pakaiannya. Untung Madeira selalu menyimpan pakaiannya dalam satu set mulai dari dalaman sampai sepatu, jadi Dimitri tak perlu pusing lagi akibat salah kostum.
“Madeira on!” teriaknya sambil memakai dasi.
Pintu sebuah lemari di ujung lorong luar kamar Dimitri terbuka, dan seorang perempuan cantik berjalan dengan gesit. Salah! Sebuah perempuan cantik tepatnya, karena dialah Madeira, sang android bediende. Sesuai program Madeira akan mulai membersihkan seluruh kekacauan seisi rumah yang ditinggalkan Dimitri.
Tak ada waktu lagi untuk menyuruh Madeira menyiapkan space car-nya. Kali ini Dimitri harus memakai teleporter karena dia harus sampai ke konservatorium…
“Sekarang!”
Dimitri menyambar violin-nya dan melompat masuk ke dalam kapsul kapsul teleporter di sudut kamar. Begitu pintu kapsul itu tertutup, dengan cepat Dimitri memencet sederet angka, dan terakhir menekan tombol ENTER.
Kapsul bergetar lembut. Sedetik kemudian pintu terbuka. Dan Dimitri tertegun. Dia berada di sebuah toilet. Ketika dia keluar, sebuah ruangan besar menyambutnya.
Audisi sudah dimulai. Tapi tak ada seorang pun yang dikenalnya. Buru-buru dia merogoh saku celananya, mencari superphone. Dan dia hampir pingsan ketika melihat ke layar superphone-nya. Time : 08.18 ; Date : 08.23.2189 ; Location : Konservatorium Julien.
Lokasinya tepat. Tapi waktunya tidak. Dia mundur 100 tahun dari waktu sebenarnya.
Seharusnya hari ini tanggal 23 bulan 8 tahun 2289.
Dimitri hanya bisa menelan ludah.
* * *
Gendis melihat pria itu tampak kebingungan di sudut dekat toilet. Dia memutuskan untuk mendekatinya. Dalam layar smartop-nya, hanya satu nama yang pemiliknya belum membubuhkan sidik jari.
Hmm… Dia pasti Costas, si jagoan telat, batin Gendis sinis.
“Telat lagi, Saudara Costas?”
Dimitri tertegun menatap perempuan itu. Seorang perempuan berkulit coklat, bermata lebar, berambut keriting kriwil, hidungnya tak terlalu mancung, bibirnya mungil berwarna merah-oranye. Pendeknya, eksotis.
“Halooo…”
Mata Dimitri mengerjap. Perempuan itu masih menatapnya, tak sabar.
“Sebaiknya Anda segera bubuhkan sidik jari di sini,” perempuan itu menyodorkan smartop-nya.
“Tapi…”
“Penampilan Anda setelah peserta audisi yang itu,” Gendis menunjuk ke panggung, “Jadi sebaiknya Anda tak membuang waktu lagi.”
Demi mendapat belalakan dari mata lebar yang indah itu, Dimitri segera membubuhkan sidik jarinya. Smartop di tangan Gendis berbunyi dua kali. Perempuan itu mengerutkan kening. Sidik jari itu tidak cocok.
“Siapa Anda?”
“Aku Dimitri.”
“Kenapa tidak Anda katakan Anda bukan Costas?”
“Karena Anda tidak memberiku kesempatan,” senyum Dimitri.
Gendis terdiam, menyadari kesalahannya.
Saat itu seorang laki-laki berlari memasuki aula dan langsung menuju ke panggung audisi. Dialah Costas yang asli. Gendis bergantian menatap Dimitri dan Costas. Keduanya mirip walau tidak sampai bagai pinang dibelah dua.
“Namamu tak ada dalam daftar,” Gendis menyipitkan matanya.
Dimitri mengangguk. “Ya, aku nyasar.”
“Bagaimana bisa?”
“Salah tanggal, kurasa…,” Dimitri meringis.
Gendis menatapnya sambil menggelengkan kepala. “Duduklah dulu. Aku urus pekerjaanku sebentar.”
Dimitri menurut. Dia duduk di kursi terdekat. Diarahkannya pandangan ke panggung. Di sana orang bernama Costas itu tengah memainkan violin-nya dengan begitu indah. Dan Dimitri tercekat.
Violin laki-laki itu sama persis dengan miliknya. Walaupun dari jarak yang cukup jauh, Dimitri kenal betul bentuknya, terutama suara yang keluar dari violin itu.
Pelan Dimitri membuka kotak violin-nya. Sebuah replika violin Stradivari. Buatan ratusan tahun yang lalu. Replika dari violin terbaik di dunia. Peninggalan kakek buyutnya. Seketika Dimitri tersentak.
Kakek buyutnya? Namanya Costas. Dia ingat betul nama itu.
Dia kembali menatap ke arah panggung. Seketika rasa dingin menjalari seluruh punggungnya. Bulu kuduknya berdiri. Menatap kakek buyutnya memainkan violin yang sama tepat di depannya adalah hal yang sama sekali tak pernah terpikirkan oleh Dimitri. Tapi saat ini dia benar-benar mengalaminya.
Perjalanan ke masa lalu… Dimitri tak pernah melakukan itu sebelumnya. Tak pernah terpikir untuk melakukannya. Tak pernah sempat untuk sekedar berpikir sekalipun.
“Dimitri…”
Laki-laki itu tersentak. Gendis sudah duduk di sebelahnya.
“Anda buru-buru harus pergi?”
Dimitri mengangguk.
“Mari kuantar Anda ke lab Profesor Kenji. Kapsul teleporter terbaik ke masa depan ada di sana.”
Di panggung Costas sudah menuntaskan permainannya. Dimitri menatapnya sekali lagi sebelum mengikuti langkah Gendis.
“Maaf, nama Anda siapa, Nona?”
Gendis menoleh sekilas. “Gendis,” jawabnya singkat.
Dimitri hampir tersedak. Dia terpaksa menghentikan langkahnya sejenak. Merasa bahwa Dimitri tak lagi mengikuti langkahnya, Gendis berhenti dan memutar badannya. Ditatapnya Dimitri penuh tanya.
“Ada apa, Dimitri?”
“Tidak, tidak apa-apa.”
Gendis kemudian melangkah lagi, dengan Dimitri mengikuti di belakangnya. Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai di lab Profesor Kenji. Gendis dengan cepat menerangkan sesuatu pada Profesor Kenji. Profesor belia itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia kemudian menatap Dimitri.
“Mari, Saudara Dimitri, Anda bisa pulang melalui kapsul merah itu.”
Dimitri mengikuti arah telunjuk Profesor Kenji. Dengan mantap dia melangkah ke sana.
“Silahkan masukkan waktu dan koordinat yang Anda inginkan, saya akan mengirimkan Anda kembali begitu Anda sudah terkunci di dalam.”
Dengan cepat Dimitri memasukkan koordinat kapsul teleporter di rumahnya. Waktunya 08.00. Sebelum masuk ke dalam kapsul teleporter dia menoleh ke arah Gendis. Tersenyum.
“Anda akan menikah dengannya. Costas.”
“Bagaimana…”
Tak ada waktu lagi.
“Saya cicit Anda.”
Gendis ternganga.
Dimitri sudah menghilang ke dalam kapsul teleporter. Profesor Kenji menekan tombol ON. Terdengar sekian detik dengung halus. Kemudian sepi.
* * *
Dimitri menatap keluar pintu kapsul teleporter yang terbuka lebar itu dengan lega. Lengkap. Kamar beserta seluruh isinya. Kamarnya.
Dengan cepat Dimitri keluar. “Madeira on! Siapkan space car.”
Beberapa detik kemudian Madeira sudah berdiri di depan kamar Dimitri. “Space car siap.”
Dimitri menatap kapsul teleporter di sudut kamarnya. Dia sudah sekali menggunakan kapsul teleporter itu untuk pergi ke masa lalu. Bila dia nekad melakukannya lagi, pusat keamanan akan menghancurkan kapsul teleporter manapun yang dia gunakan untuk kembali lagi ke masa lalu, beserta dia di dalamnya.
Dihelanya napas panjang sambil menuju ke space car-nya. Gendis, perempuan berwajah eksotis. Alangkah beruntungnya dia hari itu. Secara langsung bisa menatap wajah kakek dan nenek buyutnya sekaligus.
Dengan hati-hati diletakkannya replika violin Stradivari-nya ke jok sebelah. Sejenak kemudian space car-nya mengudara, membelah langit Jakarta, menuju ke Konservatorium Julien. Kali ini dia pergi dengan membawa reputasinya sebagai Violin Master yang super disiplin. Tanpa terlambat.
* * * * *
wuiiihh…cara menuliskan yang sederhana dengan dimensi waktu yang kompleks membuatku terpesona…luv it..