Beberapa minggu ini terjadi hiruk-pikuk kampanye presiden. Kedua belah pihak sibuk menonjolkan diri. Tergantung perbedaan cara pandang. Ada yang menggunakan cara-cara ksatria dan ada yang menggunakan cara kasar seperti fitnah serta kambing hitam. Orang yang melihat saja heran. Demikian keras dan kencangnya angin bertiup ketika seseorang berusaha memanjat lebih tinggi di kehidupan. Oh, rupanya ada kepentingan dibalik bulu domba. Kepentingan siapa? Tidak jelas juga karena kabarnya masih sahibul hikayat. Kabut – kabut misteri yang meliputi para pembesar di tanah air kian tersibak. Saya hanya pengamat diam disatu sudut kota. Heran, ketika melihat suatu ambisi muncul bergejolak, seperti kuda liar tanpa kendali sama sekali. Apa saja yang dapat dikatakan akan disabdakan, apa saja yang dapat disumpahkan akan dihujatkan. Astaga,…
Lalu tibalah hari pencoblosan dan semua orang bergembira memberikan mandatnya pada salah satu calon presiden. Sejumlah survey yang pantas digelar untuk mendulang hasil pencoblosan pemilu. Lucunya, sebagian besar memenangkan seorang capres dan beberapa memenangkan yang lainnya. Capres yang menang langsung menggelar acara jumpa pers dan bersujud syukur atas kemenangan tersebut. Demikian pula rakyat pendukungnya serta kawan-kawan partai yang bersisian dengannya. Ungkapan syukur yang layak, dikarenakan perjuangannya untuk meraih keberhasilan sangatlah berat. Ia sendiri menjadi korban bulan-bulanan fitnah. Apapun yang dilakukannya tidak ada yang benar, semuanya salah! Seseorang atau sekelompok orang menjadikannya target penganiayaan mental. Tetapi dalam setiap helaan nafas dan denyut nadi, ia berserah pada Tuhan, ia punya sumber kekuatan tanpa batas. Ia menjelaskan mana yang salah dan tidak membalas segala aniaya. Ia diam. Ia sudah merasa lebih dari cukup melihat keajaiban cinta Tuhan yang terus berlipat-ganda baginya.
Ketika kemenangan seolah berpihak padanya ia lupa dan jadi sedikit ‘jumawa’. Mungkin juga sekedar terbawa euforia bahagia. Sujud syukur yang dilakukan dan kemenangan yang digenggamnya memang belum sah bak ijab kabul. Masih ada beberapa hari sebelum kepastian itu diberikan oleh lembaga yang bersangkutan. Mendadak tanpa diduga dan dinyana, pihak lainnya mengucap syukur atas kemenangan yang sama. Juga mengucap terima kasih atas dukungan semua pihak. Ia yakin bahwa dialah sang pemenang. Tak mau kalah! Lalu jika ada dua pemenang, siapa sebenarnya sang pemenang sejati? Dia yang tersenyum ketika dizholimi habis-habisan. Dianiaya secara batiniah, dilecehkan, dihina dan direndahkan. Ia yang tahu bahwa dirinyalah sang pemenang dan bukan yang mengaku-aku sebagai pemenang. Itulah pemenang yang sesungguhnya, karena piala bukan pertanda kemenangan hakiki. Piala itu pada akhirnya hanyalah pajangan. Kunci untuk masuk ke surga, itu dia! Ketika dihitung amal ibadah dan ditimbang dosa-dosanya, lalu Tuhan memenangkan dirinya, itulah kemenangan sejati. Barangsiapa yang ingin selalu menang dimuka bumi lupa bahwa setelah kematian menanti pengadilan yang sesungguhnya.
Apakah menjadi presiden adalah segalanya? Tentu tidak! Sungguh menggelikan. Ketika memiliki ibu yang sangat mencintai, saudara-saudara yang tidak menghitung persaudaraan dengan setiap sen milik mereka. Ketika memiliki istri yang selalu ada disisi dan membesarkan putra-putri yang jadi idaman para orang-tua. Itulah hartanya. Lebih besar lagi ketika dibela dan dicintai oleh banyak orang yang ada dimuka bumi ini. Itulah kekayaan yang luar biasa. Sulit menukar segalanya dengan segunung harta. Perbedaan cara pandang membuat orang melihat dua sisi, hitam dan putih. Baik dan benar. Zholim dan hikmat. Hanya, …HANYA dengan satu garis batas pandang, maka orang akan melihat hal yang berbeda. Cara pandang itu dikembalikan pada masing-masing orang, bagaimana melihat dunia ini. Apakah sekedar ingin wanita, harta dan tahta? Atau muncul kesadaran BAHWA sudah memiliki segalanya, lalu mencukupkan diri dengan itu semua. Sisanya adalah berbakti kepada Tuhan, sebagai perwujudan terima kasih atas karuniaNya. Tensi tinggi tanah air bukan disebabkan oleh dua orang yang berebutan. Tetapi oleh satu orang yang merasa dapat membeli nikmat dunia dan harus memiliki segalanya. Harus jadi pemenangnya. Dengan harga apa?? Astaga,…
Ibunda selalu menasihati agar ia rendah hati. Dan ia sungguh menggenggam itu, mungkin sampai mati. Kali ini dikarenakan kelelahan dan rasa bahagia atas anugerahNya. Ia menyujud syukur. Ucapan syukurnya dicela. Keberhasilannya dinafikan. Kian lama kian tersibak misteri-misteri yang menyelubungi negeri ini. Betapa aneh drama-drama yang terjadi. Mirip sekali dengan dongeng bawang merah dan bawang putih. Dimana bawang putih selalu salah dan bawang merah ingin menang sendiri. Segala cara dilakukannya untuk mencederai si putih. Namun ini dongeng yang sudah sangat lama kisahnya, ingin dimodifikasi seperti apapun, pada akhirnya bawang putihlah sang pemenang! Ia yang mendapatkan cinta sang pangeran. Dan bukan bawang merah. Saya tak habis pikir, bawang merah memiliki segalanya. Kecantikan, ibu yang sangat membela dirinya, kekayaan. Tetapi mengapa tetap saja ia merasa iri dengan bawang putih yang miskin papa? Miskin harta dapat diperkaya dengan tambahan uang serta kekayaan lainnya. Tapi miskin hati? Harus ditambahkan dengan apa? Siapapun presiden terpilih nantinya, Indonesia bukanlah warisan khusus bagi Anda berdua. Ini adalah milik kami semua, rakyat! Warisan nenek moyang kita bersama. Jangan letakkan kepentingan pribadi lalu bernyanyi sumbang seolah telah bekerja penuh bakti. Lucu!
Makanya berusaha menghindari komen atau menulis kalau gak tensi juga bisa naik, apalagi baca2 klaim kemenang kubu yang berlawanan, wah tensi semakin naik tuh Ci Jo,
dalam keadaaan begini memang perlu pengendalian diri yang tinggi, kalau gak ya jadi ambil bagian tinggi2in tensi