Gaya  

Tinggal di Luar Negeri Sombong Sekali

Orang sombong ada di mana mana, bukan hanya di Indonesia tapi hampir diseluruh belahan dunia. Apakah mereka sadar dengan keangkuhan yang di tunjukannya? Entahlah. Padahal jika saja kita sadar bahwa sesungguhnya manusia tak punya apa apa. Jangan kan harta benda, nyawa sekalipun bukan milik kita. Semua hanya titipan Tuhan semata. Hari ini kita kaya, besok belum tentu. Hari ini kita sehat , besok belum tentu. Namun yang pasti kita semua sama yaitu bertitel CAMAT alias calon mati.

Beberapa teman di grup FB berbagi pengalaman ketika bertemu sesama bangsa di luar negeri yang sombongnya setengah mati :

Sebut saja Lina yang menikah dengan bule, dia pernah bekerja di penerbangan Internasional Middle East. Sudah PR di negara suami tapi bekerja ditempat lain. Iseng gabung dengan grup kawin campur dan bertanya soal cari kerja di negara suaminya. Dengan angkuh mereka menjawab ,

” Kamu mau cari kerja? ngomong bahasa suami aja kagak lancar. Mau ngga jadi pembantu keliling, kan ngga pake ngomong tuh!.”

Belum kenal siapa Lina dengan seenaknya mereka merendahkan saudara sebangsa dan setanah air. Beruntung ia cuek saja, lalu keluar dari grup tersebut sambil berpesan

” Terima kasih sarannya ya ibu ibu, nanti deh saya nanya lagi kalau udah berhenti kerja di PBB.” Gubrak!! kaget kali mereka.

Ada lagi kisah Desi (nama samaran) , katanya dia bingung sama sikap orang orang Indonesia yang tinggal di negara lain. Kayak kacang lupa kulit, sombong nya mana tahan. Dia pernah berinteraksi langsung dengan wanita Indonesia yang tinggal dan bekerja di Australia. Katanya

” Masya Allah…itu mah bener bener sok dan sombong, kita ngga di anggap sama dia, kayaknya ngga suka sama orang Indonesia. Saya yang lagi hamil sampe ngelus perut bilang amit amit jabang bayi.”

Kisah lain sebut saja Dina, saat itu sedang cari kerja part time dan kebetulan berjumpa dengan seorang ibu yang bekerja di restauran. Ketika ditanya apakah ada lowongan di tempat ibu itu, langsung di jawab dengan ketus ” Datang aja sendiri dan tanya ada lowongan ngga!”

Masih cerita Dina, waktu itu ia mencoba melamar kerja menjadi penjaga bayi. Ia ingin bekerja di rumah sambil merawat anaknya. Salah satu syarat yang diminta yaitu referensi dari kawan yang mengenalnya. Kebetulan ada teman gereja yang beberapa kali pernah kerumahnya, lalu ia minta tolong agar si teman ini bisa memberi referensi. Jawabnya

Baca juga :  Kera Nan Bijaksana

” Engga lah, kenapa harus aku? Kenapa bukan teman yang lain? Aku sibuk dan tak mau diganggu. “

Dina tak menyangka teman gereja bisa tega seperti itu. Lalu ia menelpon seorang teman bule, tanpa alasan ini itu, ia siap memberi referensi pada Dina.

” Aku terharu karena teman bangsa lain rela membantuku tanpa banyak alasan. Sejak saat itu aku tertutup dengan kumpulan orang Indonesia. Aku tak mau berteman hanya untuk happy happy, lebih baik berteman dengan orang asli di sini. Mereka lebih care dari bangsaku sendiri.”

Ada lagi kisah  ibu Indah yang saat itu bekerja di resto Indonesia (negara ngga saya sebut ya) menjadi kitchen helper. Setiap Minggu beliau ke gereja yang jemaatnya rata rata orang Indonesia. Ada seorang ibu kaya yang tiap bertemu bu Indah selalu ngomong didepan yang lain

” Ini lho ibu Indah, datang jauh jauh dari Indonesia, kerjanya motong sayur” Lucunya si ibu kaya ini tak tahu kalau dua anak anak bu Indah adalah dokter dan engineer dinegara tersebut. Ia bekerja hanya untuk mengisi waktu luang bukan harus cari uang. Mereka yang mengenal ibu Indah gemes juga tapi ia menjawab ” Biar saja gpp koq saya dibilang gitu….saya doakan ibu itu makin kaya dan sombongnya kurang” Akhirnya ibu Indah pindah ke gereja lain.

Sayapun punya pengalaman ngga enak ketika baru tinggal di sini dan bergabung dengan komunitas kawin campur. Saya bertanya soal kerjaan dan saya ceritakan bahwa pengalaman 17 tahun di accounting (Indonesia) dan 3 tahun di kantor penerbangan UAE. Inilah jawaban dari mereka :

” Wah susah deh kalau baru datang apalagi baru beberapa bulan, plus usia kamu udah segitu. Memang sih gue tahu loe pernah kerja di United Arab Emirates, tapi itukan negara Arab yang bukan negara berbahasa Inggris. Kerja di sini kudu bisa bahasa Inggris, loe bisa bahasa Inggris ngga ? “

Baca juga :  Cara Tidur Membantu Memproses Emosi

Kujawab : ” Terima kasih dan maaf dah ganggu, perlu kamu ketahui bahwa benar UAE bahasa lokalnya bahasa Arab tapi bahasa sehari hari di kantor kami ya bahasa Inggris.” (dalam hati ini orang ngga pernah ke UAE aja sok tahu banget)

Ada lagi yang bilang begini :

” Jadi tukang pijat  mau ngga loe? tapi gaji di bawah standard, kan yang penting loe kerja! ”

Kujawab dengan guyon:

” Maaf ya jika saya tanya kerjaan bukan berarti saya butuh banget. Suamiku lebih dari mencukupi. Bagi saya saat ini suami adalah yang utama. Kerja kalau dapat syukur ngga dapat ya tak masalah. Dari pada jadi tukang pijat orang lain , mending mijat suamiku.”

Sayapun keluar dari komunitas tersebut dan bergabung dengan komunitas asli orang Australia, dengan pertanyaan yang sama dan inilah jawaban dari mereka :

” There are a number of areas I’d suggest you start looking at. Though sites like Seek/Career1 may be of limited value, there are some of those sites that have Resume preparation guides and so if you have not already developed a good resume I would work on that. Someone was asking about English language lessons on another post. You may not need that as your written English is very good. Maybe you need to be looking outside the square some and say: with Australia/Indonesian government/commercial ties probably always going to be there to one extent or another, you may want to consider getting qualified as an interpreter/translator. There are lot of job opportunities always think positive. Wishing you all the best.”

Nyata benar bedanya jika membaca kisah kisah di atas. Kadang kawan sebangsaku merendahkan saudaranya sendiri, sedang orang asing memberi support dan berempati.

Kenapa harus sombong hanya karena tinggal di luar negeri? Apa sih yang mau disombongin. Kaya atau miskin sama sama CAMAT alias CALON MATI.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Respon (3)

  1. mbak Fey,… pantas teman saya guru, pernah cerita hal senada. sayang ya…padahal, justru kesamaan bangsa menjadi tali kuat saling menolong. Malah saling memotong kayak gitu. miris.

  2. Kalo saya boleh komentar, biasanya itu sikap dari orang yang merasa punya prestise setelah menikah dengan orang asing (atau merasa “naik kelas” dengan menikahi orang asing). Salam, Mbak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *