IA berpangkat sersan dua, telah sangat gigih mengais rejeki, peruntungan sana-sini. Bahkan sudah masuk di dunia mistik. Hidupnya kelewat spekulatif, demi material. Dan itu wajar, cari rejeki adalah manusiawi, sama manusiawinya saat kita dilahirkan. Begitu ucap orang-orang, umumnya.
Bertemu dengannya adalah dinamika sendiri, deritanyapun dinamis, harapannya bertumbuh-tumbuh. Unik juga orang ini, tersiksa tapi setia dengan senyumannya. Dan itu senyuman apa adanya. Tiada dimodif, dinikmatinya hidupnya dengan ‘sedang-sedang’ dan wajar. Tak kelewat berekspresi duka saat malang tak mampu ditolak, pun tak tak berlebih-lebihan ketika untuk tak sanggup ditahan.
Ia malah sempat ditipu halus oleh seorang ‘Kyai’, orang yang ‘alim’ itu sangat memukau dari sisi performanya: make sorban, tasbih berputar di jemarinya, hobi menyebut Nama Pencipta dengan beragam bahasa dan padanan kata akan sebutan Tuhan. Saya yang menemani sang sersan itu, nyaris juga terkecoh akan penampilan apik-ciamik-yakin, akan ‘kyai’ bodong itu.
Ratusan semangat untuk kaya, membuat Sang Sersan lenyap rasionya, murung akalnya, hilang tenaga batin, dan raib nuansa hidup bahwa segalanya juga harus dimatematikakan plus intuisi. Kepalang tanggung, sang sersan tetap terspirit melanjutkan takdirnya untuk kaya raya, kepemilikan harta kemewahan, mobil, rumah, dan beragam khayalan lainnya. Orang ini benar-benar telah tenggelam dalam lautan khayalan. Hingga akhirnya, semua yang dimiliki, malah raib, digadaikan dan dijual habis. Hingga dulunya bisa naik mobil peot, motor tua, dan sepeda buntut. Semua sudah lenyap, terjual karena membiayai pencarian barang-barang antik yang balasannya -nanti- milyaran rupiah.
Puncak sudah. Tak ada asa lagi, Sang Sersan, barulah terketuk pikirannya, matanya dipicingkan, insyafi segala mabuk materinya -yang telah korbankan anak istri- akibat ulahnya berjalan sendirian tanpa restu dari ibu dari anak-anaknya. Dan segalanya telah absurd, titik nadir. Tiba-tiba dia berdoa di luar dari sholat, tanpa wudhu, spontan dan menengadah di sampingku:
“Tuhan, sesungguhnya hamba mensyukuri atas semua yang telah Engkau berikan selama ini, sebelum hamba sehancur ini. Hamba syukuri sekali, tapi Tuhan tolonglah, mengertilah keadaanku. Kusyukuri Tuhan, tapi mengertilah Tuhan. Mengertilah”. Sebuah doa yang semi-ikhlas, syukur tapi minta dimengerti lagi”
***
Tuhan yang mana lagi yang rabun pengertian kepada hamba-Nya? Manusia saja yang kelewat rakus, melebihi dari segala kerakusan^^^
Uang bisa menjadi tuhannya manusia ya bro
beneren Bro 😀
Tuhan selalu mngerti kita, kitalah yang sering tak mau mengerti Tuhan kan?
asyiiiiiiiik 😀