Ada yang tidak biasa hari ini.
Kuntum bunga bermekaran lebih awal dari waktu yang di tentukan oleh empunya semesta.
Ayam berkokok lebih cepat padahal ufuk timur masih berjelaga pekatnya malam, mentari pun muncul lebih awal mendahului embun dan halimun.
Putik bunga sisa mekar kemarin, kini berloncatan riang luruh ke bumi berharap reinkarnasi esok akan semakin mempercantik warnanya, dan ruar keharumannya bisa semerbak merona.
Hari ini semua berjalan sangat tidak biasa.
Dan aku menemukan ketidakbiasaan ini di dirimu, dari tawamu, dari candamu, dari rongrongmu bahkan dari tetesan peluh yang asik meluncur di lubang pori kening wajahmu.
Sesuatu yang tidak biasa di awal, makin menjadi luar biasa ketika dari deretan waktu yang kita pintal, nampak jelas ada kamu dan aku, di sana.
Pada sebuah dimensi perjalanan waktu, yang menumbuhkan satu frasa…ini tentang kita.
Ibarat lelaki tua dengan tongkatnya, begitulah frasa itu bercerita.
Ibarat kebodohan dan kepintaran, disanalah frasa kita tertandai.
Ibarat melepuhnya sebuah luka, demikianlah frasa kita tersurat.
Walau tidak di pungkiri bahwa semua orang akan mencari sesuatu yang sangat luar biasa dan sangat baik.
Tetapi, hari ini aku terhenyak, mataku terkagum-kagum pada sesuatu yang tidak biasa kau suguhkan.
Ketika kau sodorkan gelembung busa lengkap dengan peniupnya, lalu kita berlari-lari di antara gelembung itu.
Seperti anak-anak yang tak peduli kotor atau jatuh saat terjerembab ketika hendak menangkap gelembung-gelembung itu agar bisa di letakan pada kedua telapak tangan yang terbuka tulus.
Lalu tawa kita mengembang, melayang di udara bersama dengan gelembung-gelembung itu, menjauh dari kita tapi berarak riang ke tinggi cakrawala.
Aku terpesona, saat tiba-tiba mendapati setangkai..ah tidak..bukan setangkai..melainkan satu pohon bunga merona putih, yang kau namai melati. Muncul ketika percakapan kita hendak di mulai
Katamu “Aku menanamnya, agar bisa mencium aromamu setiap waktu, dan kelak saat bunga bermekaran, maka di sanalah ceriamu akan ku pahat. Dengan tekunku kan gores ceritamu di helai demi helainya, pada dahan demi dahannya bahkan pada helai demi helai rimpang akarnya”
Dan kita pun terbahak-bahak, tanpa di sadari ceria cerita kita sudah terukir lebih awal di ulam-ulamnya.
Kita bahagia.
Jadi, jika hadirmu membuat segalanya menjadi nampak biasa dan alami, masihkah aku membutuhkan yang luar biasa dari ini ? Jawabannya adalah tidak.
Sebab aku hanya wanita biasa yang ingin menemanimu sebiasa aku berceloteh riang, hingga saking terbiasanya berceloteh, aku takan bisa bahagia tanpanya.
Untukmu, yang hanya biasa saja.
Terima kasih, Sayang…Siluet.
sudah lama tidak main gelembung busa 😀
Selamat malam Mbak Vivi,
Ayuk kalau begitu, malam ini kita mainan gelembung busa ya
Salam,
NO
cerita yg biasa, namun memiliki arti yang luar biasa…
salam, mbak Novie
Selamat pagi NK,
Terima kasih selalu menyimak postingan saya yang hanya biasa saja ini 🙂
Salam,
NO
ternyata tulisanmu masih seperti dulu, khas
hayuuu, menulis lagi
Selamat pagi Uti Enggar,
Hehehehe…sungguh perhatian sekali Uti pada cucunda
Salam sayang,
salam buat dia yang biasa saja tapi luar biasa di mata nanda 🙂
Bunda Asih,
Nanda sudah sampaikan ke sosoknya,
Peluk sayang,
🙂