Saya anak Yogya! Kalo ditanya, apakah saya suka Yogya? Saya sangat cinta Yogyakarta. Empat tahun saya kuliah di kota tersebut dan boleh dikata 90% yang ada adalah kenangan indah. Kampus yang menyenangkan. Teman – teman kuliah yang baik, bahkan hingga hari ini masih bersahabat baik. Entah, berdasarkan pengalaman, teman – teman kuliah bagi saya adalah manusia – manusia paling fleksible. Mungkin karena kami semua menjelang dunia kedewasaan pada waktu yang bersamaan, sehingga pertemanan kami tidak ada yang konyol. Semua berpatok pada penerimaan dan toleransi yang sangat besar. Apapun suku dan agama, kami sangat kompak!
Mengenal Yogya yang menjadi cinta sejati, sesungguhnya membuat saya terkenang cinta pertama. Sejujurnya cinta pertama saya adalah Bandung. Sejak kecil saya sering berlibur ke Bandung sekali dalam setahun. Bahkan hingga kini, kami masih sering berlibur ke Bandung. Kalau dulu alasannya karena ada Oom yang merupakan adik mami, berdomisili Bandung. Kalau sekarang, liburan ke Bandung alasannya karena relatif dekat dari Jakarta dan sekaligus menikmati kesejukan udara dataran tinggi.
Dulu saya ngotot sekali ingin kuliah di Bandung dan pokoknya harus ke Bandung! Saya sudah membeli formulir Universitas Parahyangan dan sudah hampir saya isi dan kirim. Tapi Oom menasihati agar saya tidak ke Bandung dan lebih baik memilih kuliah di Yogyakarta saja. Almarhum mami juga berpikir demikian. Alasannya karena dekat dengan kota kelahiran dan mempermudah bolak – balik mengunjungi mami. Seperti biasa, saya selalu menurut. Walaupun dalam hati saya sedih dan saya sadari hingga hari ini jika ke Bandung saya merasa melankolis. Karena saya dan kota Bandung tidak berjodoh. Saya akhirnya kuliah di Yogya! Benefitnya? Luar biasa, kampus yang hangat, teman-teman baik, nilai yang cukup, sikap kekerabatan dan tentu saja hemat biaya hidup!
Di sisi lain, adik saya berhasil kuliah ke Bandung! Mungkin karena mami pikir saya sudah hampir selesai di Yogya. Adik saya mendapat ‘jatah’ yang sebenarnya saya idamkan. Kuliah di Bandung! Saya sama sekali tidak merasa iri ketika adik saya berhasil kuliah di Bandung, bahkan mengambil jurusan arsitektur. Buat saya itu kebanggaan! Sayang seribu sayang. Adik saya dengan sukses menggagalkan sendiri study-nya! Kuliah selama sepuluh tahun, berpindah di dua perguruan tinggi swasta dan dua – duanya men-vonis dia DO!! Yang patah hati nggak hanya saya, terutama mami! Kecewa sekali, ketika sebuah kesempatan emas diberikan kepada bebek yang tak pernah menjadi angsa!
Sekarang, ketika bepergian ke Bandung, rasa patah hati saya tidaklah sebesar dulu. Saya berterima-kasih, karena Bandung tak berjodoh dengan saya. Yogyalah yang menjadi cinta sejati dalam kehidupan saya. Selalu merasa nyaman “pulang ke kotamu.” Beberapa sahabat masih berdomisili di Yogya dan siap kapan saja saya ingin berbagi malam dengan lesehan di malioboro atau mangkubumi. Yogya mengajarkan saya untuk selalu “masih seperti dulu.” Saya tidak ingin berubah menjadi seseorang yang bukan saya. Mengerti esensi menjadi diri sendiri namun terus memperbaiki menjadi versi yang terbaik.
Ke Bandung, mungkin masih ada sedikit pedih. Tapi bersyukur, karena memang takdir tak dapat dipaksakan. Dan ternyata saya masih sangat terikat dengan Yogya, jika sedang sedih saya ke Yogya dan mengenang kembali masa – masa bersekolah dulu. Bandung hanyalah tempat liburan. Namun Yogya bagi saya adalah tempat pelipur lara. Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu….
Maaf Bandung, karena takdir, kau jadi cinta yang terlupakan!
Life is a journey, feel it! 🙂
J.W.