Jadi pawang harimau? Kayaknya serem tuh tantangan. Masuk kandangnya, dengan bulu kuduk merinding terbayang tubuh yang tercabik robek dan darah serta daging bercucuran. Tapi saya bukan mau membahas harimau beneran. Saya ingin membahas fenomena menarik tentang “cuwawakan.”
Cuwawakan itu bahasa Jawa yang kadang dipergunakan di kalangan saya dan teman-teman sekolah dulu. Cuwawakan itu ngomong tak berdasar hanya karena alasan emosi semata atau pengen ternama. Pokoknya semakin banyak bicara, berharap semakin terlihat pintar. Padahal tidak semua orang mudah dikelabui. Orang yang pandai akan memilah kata-katanya. Menjaga sikap dan perilakunya.
Mengamati fenomena menarik betapa rasa narsisme dan ingin populer begitu menjulang, sehingga gelap mata menjadi pilihan. Asal bicara, asal ngomong, yang paling menyedihkan adalah asal nulis! Ditulis lho, omongan – omongan yang jumawa, penuh aksi, arogan dan merasa diri setengah dewa. Lalu jika diingatkan galakan mereka daripada yang mengingatkan atau dengan mudah setelahnya minta maaf. Minta maaf atas kesalahan yang tak disengaja wajar, tapi kalau niat mencari popularitas lalu ujung – ujungnya minta maaf apa bukan konyol namanya?
Mulutmu-harimaumu. Beberapa tahun yang lalu saya termasuk wanita yang vokal dan keras dalam bersuara. Kalau tidak suka saya teriakkan keras-keras. Sedikit banyak berdampak pada perjalanan karir saya yang dijegal sana – sini. Disisi lain saya juga tak pandai mengambil hati orang lain. Suka – tidak suka itu hak saya kepada orang lain. Sementara tugas saya membuat orang lain menyadari bahwa yang saya lakukan hanya berusaha jujur.
Mengamati fenomena “cuwawakan” dalam dunia tulis menulis membuat saya terkesima. Entah atas dasar pikiran apa menuliskan berbagai hal yang kadang tak jelas dasarnya. Bicara asal tereak, asal bombastis dan asal bikin penasaran. Awalnya saya sendiri tertarik keriuhan tersebut. Sekarang saya coba memilih, apa yang saya baca dan apa yang saya tulis. Walau sedikit banyak emosi pasti menguasai. Seperti halnya tulisan saya sebelum ini, begitu dikuasai emosi karena kesal. Banyak sekali orang dewasa yang tidak dewasa dan harus di“momong” (diasuh). Hehehe –
Bicara dan menulis menjadi dua hal yang akan menunjukkan siapa kita. Ketika bicara kemudian asbun agar dianggap pintar dan bergengsi lama – lama juga akan memerosokkan kita pada jurang. Seperti beberapa penulis yang kemudian memetik buah dari “cuwawakannya” sendiri. Bicara tentang hal – hal yang diluar pengetahuannya lalu jumawa. Ketika kemudian jatuh terperosok dalam lubang kebingungan sendiri. Yang menolong tidak ada, karena ketika ia bicara yang lain manggut-manggut saja. Tidak ada yang mengingatkan. Apakah sekarang siap masuk penjara? Sebenarnya kita manusia apa? hidup didunia mana?
Life is a journey, feel it!
J.W.
cuwawakan? asiik, saya dapat istilah baru. terimakasih mbak 🙂
semoga semakin banyak orang yang sadar akan cuwawakannya 😀
thanks vivi,..lagi rajin jelajah ketik ketik yah..
iya nih, mbak. lagi mau meng-eksplor ketik-ketik, hehe 🙂