Hari itu kampung kami dilanda duka. Semua warga dilanda kesedihan yang mendalam. Tidak ada satu pun dari orang tua kami yang pergi ke ladang atau ke hutan. Aku dan kawan-kawanku pun sengaja bolos ke sekolah. Sejak malam selepas Isyah, kami semua tanpa kecuali berkumpul di rumah Wak Jum. Rumah sederharna berdinding papan itu disesaki wanita-wanita di dalamnya. Mereka duduk beralas tikar sambil memanjatkan doa-doa.
Sudah sejak tadi malam tersiar kabar bahwa Wak Jum ditemukan tidak sadarkan diri menjelang Maghrib di dekat kandang ayam miliknya. Entah siapa yang pertama kali menemukannya.
“Mungkin Wak Jum terjatuh ketika hendak memasukan ayam.” Begitu kata ayah ketika kutanya mengapa Wak Jum sakit.
Wak Jum tinggal seorang diri. Tidak punya sanak saudara. Usianya mungkin lebih tua dari kakekku yang sudah meninggal. Jalannya sudah lamban dan agak bungkuk. Pekerjaannya hanyalah sebagai dukun beranak.
Mungkin jaman sekarang sudah tidak ada lagi yang namanya dukun beranak. Tetapi tidak untuk kampung kami. Sebuah kampung terpencil yang dikelilingi hutan dan ladang jagung. Listrik pun belum menjangkau tempat kami ini. Butuh 1 jam perjalanan untuk bisa sampai ke kota kecamatan jika cuaca sedang baik. Namun jika hujan tiba, jalan akan jadi lumpur merah yang susah untuk dilalui.
Beruntunglah kampung kami mempunyai Wak Jum. Bayangkan saja, aku dan semua orang termasuk orangtuaku bisa lahir berkat tangan Wak Jum. Sebagai tanda terimakasih, banyak orangtua yang meminta Wak Jum sekalian memberikan nama untuk bayi mereka. Setiap hari ulang tahunku ibu tidak pernah lupa mengirimkan makanan ke rumah Wak Jum. Orangtuaku merasa berhutang budi padanya. Menurut kisah mereka, dulu aku dilahirkan dalam keadaan sungsang. Berkat Wak Jum, proses persalinan ibu menjadi lebih mudah walaupun belum genap sembilan bulan ibu mengandungku. Orang bilang tangan Wak Jum sakti, belum pernah gagal sekalipun.
Rumah Wak Jum berada menyendiri diujung kampung. Ia hidup sendiri tanpa suami dan anak. Memang sedari muda Wak Jum tidak pernah menikah. Entah apa alasannya. Kepandaian membantu orang melahirkan konon berasal dari neneknya yang juga dukun beranak. Kami menghormati Wak Jum lebih dari siapapun, termasuk orang-orang dari kampung sebelah. Ia tidak pernah menolak jika diperlukan kapan dan dimanapun itu.
Aku coba mengintip dari jendela. Tubuh Wak Jum terbujur berselimutkan kain batik diatas kasur tipis. Wajahnya yang keriput tampak pucat seirama dengan rambutnya yang sudah semuanya memutih. Bulu kudukku sedikit merinding, membayangkan hal yang tidak-tidak. Disekelilingnya, para wanita masih terus melafaskan doa-doa. Kulihat ibuku pun ada diantara mereka, duduk diujung kaki Wak Jum.
“Wak Jum belum mati khan ‘yah.” Tanyaku pada ayah. Ia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ayah dan seorang teman sibuk mengisi sebuah drum dengan air disamping rumah.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika Wak Jum meninggal dunia. “Kalau tiba-tiba ada yang mau melahirkan pada siapa harus meminta pertolongan?” Begitu pertanyaan yang ada di benakku. Mungkin begitu pula apa yang ada di benak semua orang kampungku saat itu.
Wak Jum tidak pernah meminta bayaran atas jasanya. Kadang dibayar dengan sekarung jagung atau beberapa ekor ayam. Dan Wak Jum tidak pernah mengeluh. Kenyataannya ia tidak pernah berkekurangan. Ladang jagung di sebelah rumah selalu menghasilkan panen yang melimpah yang ia bagi dua dengan penggarapnya. Pada usianya yang semakin tua Wak Jum sudah tidak kuat lagi untuk berladang. Tapi jika ia harus melintas hutan untuk membantu orang melahirkan ia selalu kuat. Aneh sekali aku rasa. Itulah Wak Jum.
Harapan dan takdir kadang kala tidak berjodoh. Namun tidak pada harapan warga kampung dan takdir Wak Jum saat itu. Doa-doa kami ternyata didengar oleh sang pemberi hidup. Wak Jum diberi mukjizatNya. Kami tidak jadi kehilangan Wak Jum. Dua hari setelah kejadian itu Wak Jum tiba-tiba bisa bangun dan sehat kembali. Layaknya orang yang bangun dari tidur panjang. Beberapa orang bilang Wak Jum punya susuk, jadi umurnya panjang. Buatku itu omong kosong belaka, ini semua memang belum saatnya menghadap sang Kuasa. Ibu-ibu yang sedang berbadan dua akhirnya bisa bernafas lega karena akan ada wanita yang membantu mereka bersalin nantinya.
Entah karena takdir atau kebetulan semata. Wak Jum akhirnya benar-benar meninggakan kami semua tidak lama setelah aku lulus. Wak Jum meninggal dengan tenang tanpa sakit. Ia ditemukan meninggal dalam posisi duduk di kursi rotan kesayangannya di muka rumah. Tempat biasa aku menemaninya menyulam sambil mengunyah kinang.
Ayah memang memintaku untuk meneruskan sekolah di sekolah kebidanan. Dan sebagai anak aku tidak pernah menolak permintaan beliau itu. Sebagai kepala kampung ayah ingin aku bisa seperti Wak Jum.
“Ini sudah garis hidupmu ‘nak…jalani saja.” Begitu pesan ayah yang selalu terngiang ditelingaku.
Aku ingat dulu setiap bertemu Wak Jum, ia akan memintaku mengulurkan tangan. Lalu Wak Jum mulai mengurut lembut jemariku sambil mulutnya komat kami seperti merapalkan sesuatu. Terakhir ia mencium lalu meniup ubun-ubunku. Awalnya aku merasa jijik karena kepalaku akan kotor kemerah-merahan ditambah bau gambir dari sirih yang dikunyahnya. Wak Jum hanya melontarkan senyum setiap kali aku bergidik. Lama-lama akhirnya terbiasa juga. Dari semua anak gadis di kampungku, hanya aku yang disayang Wak Jum. Mungkin karena aku sering singgah di rumahnya. Rumah Wak Jum serasa punya daya magnet tersendiri bagiku. Wak Jum selalu bercerita tentang kisah-kisahnya menolong orang melahirkan. Kadang cerita yang diulang-ulang saja. Namun aku tidak pernah merasa bosan mendengarnya. Ia rasanya sudah seperti nenekku sendiri. Pernah aku bilang padanya agar diperbolehkan memanggilnya dengan sebutan nenek. Ia menolak karena merasa belum nenek-nenek. Aku tahu ia becanda, tapi aku pun tidak berani membantahnya.
Karena kedekatanku dengan Wak Jum pula, aku pernah memberanikan diri untuk ikut menemaninya ke tempat orang yang akan melahirkan. Namun Wak Jum selalu melarang. Dan itu sungguh membuatku kesal. Alasannya selalu saja sama.
“Belum waktunya ‘nakku…”
Setiap aku tanya kapan aku boleh ikut, ia hanya membalas dengan kata-kata ‘nanti’dan ‘nanti’. Aku tidak berani lebih jauh membantah Wak Jum. Kata ibuku mungkin itu pantangan bagi Wak Jum.
Kini baru aku tahu apa maksud Wak Jum dulu berbuat begitu padaku. Aku sebenarnya sedih karena tidak bisa menunjukan kebolehanku pada Wak Jum. Aku ingin ia bangga karena ada orang kampung yang bisa jadi penerusnya. Aku ingin ia menyaksikan diriku mengeluarkan bayi merah dari rahim seorang wanita. Dan orang itu adalah aku.
“Aku tak akan mengecewakanmu Wak..” begitu janjiku dalam hati, dihadapan nisan bertuliskan “Wak Jum (1922 – Okt 2013)”
inspiratif sekali…