Gaya  

Wong Desa Saba Kota

villager
foto: b-womeninamericanhistory19.blogspot.com

Dulu salah satu teman kantor saya mengomentari, “Si Winda itu begitu bersuara cempreng, …orang pasti kaget! Pasalnya logatnya ‘ngapak – ngapak’ banget kaya Parto Patrio,…” Saya jadi agak – agak geli. Mungkin dikira saya ling – ling atau artis Hongkong entah dari mana (ketinggian ya?). Pokoknya banyak orang mengira saya orang Jepang atau Korea, padahal bukan. Ya orang desa saja, … dari Jawa Tengah. Makanya sampe hari ini saya masih berkomunikasi dengan teman – teman masa kecil karena lebih nyaman berbahasa daerah. Dengan logat yang ‘glothakan’ itu. Cape saya, ber – lu-gue dengan nada ngapak, jadinya aneh. Saya sih udah berusaha banget menghilangkan ‘logat kampung’ saya, tapi kok susah ya?

Masa kecil dan remaja dihabiskan di Jawa Tengah, lalu bersekolah di Yogyakarta. Terakhir saya kerja di komunitas ‘interneysyeneell’ hampir lima – belas tahun. Semua sudah saya alami, dari masuk sawah nangkap kodok dimasa kecil, hingga sempat berkenalan dengan Cinta Laura di tempat kerja. Yup, yang artis indo belia maha cantik itu. Banyak orang berubah. Ketika dari desa lalu masuk kota. Ini seperti lagu Bimbi, lagu jadoel Tante Titik Puspa. Awalnya biasa saja, lalu lama – lama beradaptasi kebablasan. Sebenarnya kalau sekedar penampilan ya bolehlah menyesuaikan, tinggal di kota kok dandanan masih ndeso. Tetapi ketika attitude atau sikap mulai berubah arogan juga, apakah tidak jadi berlebihan?

Sulitnya banyak orang melabelkan standar ganda, dualisme standar. Dibibir berkata, “Aku masih seperti yang dulu,..” Namun dalam perilaku sehari – hari, teman – temannya sudah tak mengenali. Saya mengenal teman yang dulu tampil manis bersahaja, ketika pindah ke ibukota dalam waktu singkat mengenakan rok mini, scarf dan mengepulkan asap rokok kemana – mana. Berkata pada saya, “Aku masih seperti yang dulu,…” Padahal menurut saya, dia sudah berubah. Seleranya kini membumbung tinggi dan eksklusif. Ada lagi yang dulu teman bermain sepeda di kampung, sekarang bekerja sebagai expat. Dia melabelkan dirinya ‘Expat.’ Jadi dia adalah expat yang diperbantukan dari Indonesia ke luar negeri.  Ketika mengobrol dan saya bertanya, “Kok nggak bekerja ke Amerika?” Dengan angkuh ia menjawab, “Amerika kan ekonominya sedang down, mana sanggup meng-hire expat seperti saya?” Mungkin jawabannya benar. Tapi sejujurnya saya illfeel, bwahahaha….

Ada masanya ketika awal bekerja di komunitas ‘interneysyeneell’ itu saya bangga sekali. Secara, saya dari kampung gitu lho! Waktu SMP, saya nyegur ke sawah dengan teman – teman mencari kodok buat eksperimen praktikum lab. Lalu ketika dewasa saya menjadi pekerja ‘interneysyeneell’ dan bertemu dengan banyak orang penting. Nah, arogansi mulai merangkul! Saya bertemu dengan pengacara papan atas negeri ini yang keluar masuk TV, bertemu dengan beberapa mentri, orang – orang legislatif, pejabat dan para bussinessman, asing maupun lokal. Bahkan beberapa cucu bekas presiden, saya juga mengenal ketika itu. Pokoknya, banyak orang yang saya jumpai. Hitam, putih, sipit, lebar, bercadar, terbuka diumbar, sebutkan saja! Berjumpa dengan begitu banyak orang mengocok perasaan saya. Hasrat – hasrat berserabutan, saya ingin bergaya seperti mereka, ingin liburan mewah seperti mereka, ingin tinggal di cluster eksklusif atau apartment seperti mereka, ingin bicara dengan bahasa mereka. Wuah, benar – benar seperti iblis yang muncul dengan baki penuh dan bertanya, “Kamu mau apa? Ambilll saja…monggo…”

Lalu saya mulai merasa tidak tenang, saya tidak bahagia, sangat! Saya meragukan diri saya sendiri. Lama – lama rendah diri karena diposisikan bukan sebagai bagian dari komunitas tetapi sebagai ‘helper’ atau ‘pembantu’ atau ‘mbok mban’ apa kek istilahnya? Saya juga tak tahu. Saya ini mbok mban yang dibayar mahal. Ini bukan bekerja, ini total pengabdian dan sama sekali tidak ada jenjang karir. Semuanya datar disetrika lurus, semua orang dianggap sama. Rajin atau malas akan dapat penghargaan yang sama. Untuk menonjol tidak diukur berdasarkan ketrampilan kerja tetapi dari luwesnya jadi ‘mbok mban’, nanti bisa tertolong oleh nepotisme. He-he-he,...Waduh! Jelek – jelek gini, dulu semasa kecil saya selalu punya pembantu. Setelah dewasa saya jadi pembantu. Ternyata luar biasa mereka itu! Saya melihat jadi pembantu itu memang perjuangan dahsyat. Bukan masalah pekerjaan itu sendiri, tetapi masalah membawa diri, andap asor… Tetap rendah hati walaupun mungkin majikan berlaku sembrono dan sesukanya. Sakittt lho, dihati!!

Eniwei-Buswei, saya lama berkubang pada pertanyaan, “Apakah saya akan terus menjadi ‘pembantu’ yang dibayar mahal? Atau belajar menjadi ‘majikan’ bagi diri sendiri?” Ini sama seperti pertanyaan, “Lebih baik menjadi kuli besar atau raja kecil?” Ada yang memilih selamanya jadi kuli besar. Saya mencoba seperti itu, ternyata saya tidak bisa! Saya tidak bisa membohongi diri sendiri masalah saya tidak bahagia dengan keadaan bekerja semacam itu. Saya tidak bisa tutup mata dan ‘numpang hidup’ pada perusahaan, dimana kualitas kerja saya sudah tidak dihargai sama sekali. Padahal saya juga tidak bisa bekerja asal – asalan atau malas. Karena itu akan menghancurkan nama baik kita sebagai pekerja, benar tidak? Mungkin karena saya orang desa yang saba kota, sehingga dalam hati saya tetap ndeso. Saya tidak bisa menjadi ‘sok kota’ dengan membunuh kebebasan saya sebagai ‘orang desa’. Orang yang masuk ke sawah untuk nyari kodok dan merasa gembira tentang hal itu!

besomebodyblog.com_
foto: girlinthegarage.net

 

 

Respon (3)

    1. hihihi yaa sekarang nyapu, ngepel sendiri ..hihihi.. thanks Bung Kateee…sobatkuuu..sll punya harapan baik buat kawan – kawannya…http://ketikketik.com/wp-content/plugins/wp-monalisa/icons/wpml_good.gif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *