Ya, Karena Aku Kolumnis

10 Kolumnis Terbaik 2013

BERGANDENGAN Baskoro Endrawan, ternobatkan sebagai nomine Kolmunis Terbaik di sebuah media kaya raya. Nomine-nya, saya biasa-biasa saja, datar dan tak kelewat busung dada. Lalu, berubah drastis kosmos psikisku saat digelar sebagai Kolumnis. Sungguh, ini yang buatku sumringah, riang tak terelakkan. Walau, berpuluh tahun, saya berlatih mengontrol bilik-bilik kejiwaan untuk setia dalam equilibrium. Suasana hati, teramat sering kubalik-balik. Sedih saat bahagia, senang saat sedih.

Jebol juga artileriku, rasaku disebut Kolumnis; linear. Tak kuasa menjeda. Dan kularaskan feeling-white ku atas fakta itu. Lantas, kuhamparkanlah, siapa Armand? Bagaimana sejatinya akan corak menulisnya?. Anak nyaris bontot ini agak unik, hobi-hobinya begitu ekstrim dengan kakak-kakak dan adik semata wayangnya (yang ia sangat sayangi). Saat saudara-saudara kandung di jalan lurus-lurus saja, Armand justru di jalan abnormal. Hobi menulis diary, merenung, main gitar, keyboard dan membongkar sepeda, keluyuran, hingga jendela rumah dikhususkan pintu spesial untuk lelaki ini.

Baca juga :  NU Menolak Koalisi Partai Islam

Uniknya, ayah-ibuku tak uring-uringan akan tingkahku. Dan, saya jaga diriku karena terkenang-kenang demokrasinya dan toleransinya ayah-ibuku. Kakak-kakak, perlakuannya tak beda dengan orangtuaku. Terbetik jua diagnosa, mengapa saya diperlakukan ‘istimewa’, ternyata di saat bayi, aku nyaris wafat, dan malah telah divonis meninggal dunia. Sebetulnya, hanya 7 bersaudara, minus aku. Hemmmmmm….

Talenta orek-orek itu terpagut semasa Kelas I di sebuah SMP di ‘Kampung Jawa’, Sulawesi Barat (Eks Sulawesi Selata, red). Dan kupersingkat artikel ini, bahwa sesungguhnya saya ini penyuka artikel murni, teramat beku imajinasiku jika harus mendaur-ulang pikiran orang lain. Lucu, terasa sebab profesi sehari-hariku justru didentum referensi-referensi, teori-teori dunia, teori orang lain. Bipolar sesungguhnya, namun saya cukup sukses melakoni keduanya. Dan saya lebih puas disebut kolumnis ketimbang akademisi.

Baca juga :  Kreativitas dan Keanehan Bermimpi

Taste kolumnis inilah, menghantarku bertemu Emha Ainun Najdib, di sebuah stasion televisi, di bilangan Taman Mini, Jakarta. Jalur kolumnis ini pulalah, saya memimpin beberapa tabloid perguruan tinggi dan menjadi esais di harian lokal. Aktifitas menulis di koran cetak, terhentikan sejak melepas masa bujang. Itu alasan kuantitatifnya, tapi sesungguhnya, saya miliki alasan lain, dan alasan itu adalah misteri buatku yang sampai kutuliskan artikel ini, pun tak kujumpai jawabannya^^^

Responses (6)

    1. hahahaha
      Gak tau yang mana admin
      yang mana user
      Dua komen dari email yang sama
      hahahahahahah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *