
KOK kelakuanmu sopan-sopan di dunia maya, setahuku di alam nyata, perilaku kamu gak seindah itu. Sindiran dari seseorang ini cukup menghentak sang korban. Ya mbok syukurlah, karena yang bersangkutan sudah memenangkan perilaku baik-baik di dunia sebelah alias dunia maya. Gimana jadinya kalau -baik dunia nyata, dunia maya- keduanya sama buruknya. Bukankah itu, saat seseorang baik-baik di dunia maya, ia telah membuktikan dirinya bahwa ia pada dasanya baik.
Hanya saja di dunia nyata, kemungkinannya tak di beri lapangan luas untuk berbuat baik. Disempit-sempitkan atas nama demokrasi, power atau dikerdilkan di sana sini. Tarulah, ia punya bakat sedikit saja soal otomotif, tetapi tak dilirik oleh perusahaan besar. Yang mana perusahaan besar tak maulah merugi dengan tenaga-tenaga yang tak siap pakai. Sebetulnya go ready kok, hanya saja kita terkadang mau mabil praktis saja. Tak mau susah memberikan proses advokasi dan tuntunan komunikasi yang baik.
Artinya, kita memilih orang-orang seperti ini setia dengan kelemahannya, loyal terhadap deritanya, dan kemiskinanya semakin dinamis saja. Dan kita telah turut andil dalam membesarkan mereka dalam keputus-asaan dan menukar energi kecil itu, malah menjadi energi yang besar untuk menghancurkan siapa saja di depannya atas nama energi yang tak disalurkan oleh Si Epunya Kuasa alias para kapitalis itu. Kapitalis memporak-porandakan ekonomi rakyat tetapi jangan lupa: Manusia Miskinpun menjadi ancaman laten buat para kapitalis. Itulah yang disebut kaum buruh, kaum proletariat. Dan kitalah menciptakan semua itu.
So gejala sosial di medsos, sesungguhnya itu simbol-simbol kompensasi dan syukur-syukur mereka bisa mengusung perasaannya dan diterima baik oleh medsos. Perkara perilaku buruknya di dunia nyata, optimislah akan menjadi baik. Soal waktu saja. Ya emang. Semua soal waktu^^^
Gimana kalau sebaliknya bro 🙂 tetap bersyukur juga:)