Titik Nol Kilometer, memang boleh dikatakan telah menjadi area publik bagi segenap pihak untuk berekspresi, menorehkan karya-karya, mengkodifikasi realitas, bersuara, membangun harapan dan mimpi bagi suatu perubahan bagi bangsa dan Negara. Tapi tidak menutup pula bagi orang-orang yang sekedar lewat, meluangkan waktu sejenak untuk menikmati denyut jantung kota Yogya dengan cara yang murah-meriah atau menghabiskan malam menikmati langit terbuka, merebahkan diri dalam tidur nyenyak tanpa peduli orang sekeliling. Sendiri bolehlah, namun memang sebaiknya bersama kawan-kawan. Kobar memutuskan malam ini hanya sendirian saja. Ia ingin melarutkan diri dalam suasana di tengah kota Yogyakarta. Terserah sajalah, apapun pilihannya. Bebas merdekakan diri.
Sebagai tempat ekspresi, lihat dan nikmati sajalah, karya-karya instalasi yang selalu hadir silih berganti sepanjang jalan dari titik nol menuju utara atau sepanjang jalan Malioboro. Kerap pula acara-acara budaya tradisi dan modern tergelar sepanjang jalan ini. Berbagai panggung terbuka di seputaran titik nol, bahkan di depan pintu gerbang istana, kerap berlangsung. Pembacaan puisi, aksi teatrikal, pementasan musik, kuda lumping, dan, ah, rasanya berbagai seni pertunjukan pernah hadir dan akan senantiasa hadir. Tidak merugi dan bolehlah berbangga bila kesempatan datang untuk mengabadikan dalam jepretan kameramu dan engkau bagi dalam akun jejaring sosial-mu.
Malioboro, memang nama yang telah melegenda. Ia pernah menjadi ruang pertemuan merdeka bagi berbagai kalangan tanpa mempersoalkan status sosial, untuk bersapa dan berdiskusi tentang apapun, termasuk mimpi-mimpi mengubah dunia, mengeksplorasi realita dan gagasan ke dalam karya-karya, yang kerap menjadi terobosan-terobosan baru dan berpengaruh di tingkat nasional. Malioboro telah menjadi sekolah bagi ribuan orang. Memberikan kontribusi bagi lahirnya tokoh-tokoh yang berperan di berbagai wilayah dan di tingkat nasional. Tidak terbatas pada budayawan dan seniman saja, melainkan para petinggi-petinggi negeri saat ini, yakinlah, mereka pasti pernah singgah di seputar kawasan ini, bahkan presiden SBY pernah berkantor di samping gedung agung atau di sisi utaranya. Mantan aktivis yang berada dalam lingkaran istana dan atau lingkar kekuasan masa kini, pernah pula meneriakkan mimpi-mimpi perubahan di sepanjang jalan ini. Luar biasa bukan?
Kobar menatap ke depan. Ya, ia teringat ada gedung bersejarah di sana, dahulu. Tergusur pada awal tahun 1990-an, dan sejak 20 September 1995, lahan milik Departemen Penerangan telah menjadi bagian dari Gedung Agung, Istana Kepresidenan RI. Kobar teringat pula saat memasuki Yogya, bangunan itu dikenal sebagai Gedung Senisono. Menjadi salah satu pusat bagi para seniman Yogyakarta untuk mempertunjukan karya-karyanya seperti pameran lukisan, pertunjukan teater, pembacaan puisi, dan diskusi-diskusi. Ruang yang hidup pada masa tahun 1970-1980-an di tengah keterbatasan gedung-gedung kesenian di Yogyakarta. Bangunan yang didirikan Belanda pada tahun 1882 dengan nama Societet De Vereeniging Djokdjakarta dan berfungsi sebagai tempat hiburan bagi orang-orang Belanda yang tinggal di Yogyakarta. Tujuannya tampak hampir serupa dengan bangunan di Batavia, Gedung Harmoni, yang menjadi tempat hiburan bagi orang Belanda. Keduanya dikenal sebagai tempat permainan bola biliar dan tempat menikmati minuman keras. Tidak mengherankan gedung Senisono, awalnya dikenal sebagai “kamar bola” dan “gedung Jenewer” (Jenewer atau gin adalah sejenis minuman keras). Pada jaman kependudukan Jepang, gedung ini diganti menjadi “Balai Mataram”. Selanjutnya pada tahun 1952 difungsikan sebagai gedung bioskop bernama Senisono, yang pada tahun 1965 dipindahkan ke bagian timur alun-alun utara dengan nama bioskop Soboharsono. Sejak itu, Gedung Senisono dijadikan sebagai gedung kesenian.
Ada sejarah yang sering terlewatkan, bahwa di Balai Mataram, berlangsung Kongres Pemuda Indonesia Pertama yang dihadiri oleh para tokoh-tokoh penting pergerakan kemerdekaan Indonesia diantaranya Soekarno, Hatta, Sri Sultan HB IX, Pakualam VIII, dan Chaerul Saleh. Kongres yang berlangsung pada tanggal 10-11 November 1945 (bersamaan dengan pertempuran di Surabaya) dihadiri oleh 332 utusan dari 30 organisasi pemuda, menghasilkan keputusan penggabungan semua gerakan pemuda ke Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI).
Ya, gedung bersejarah itu barangkali telah hilang dari ingatan, di tengah berbagai perubahan yang terus berlangsung dalam berbagai sendi kehidupan. Atau barangkali pula, orang-orang yang dilahirkan sejak tahun 1980-an sama sekali tidak mengenal gedung itu.
Kobar masih teringat, ada aksi menentang penggusuran gedung Senisono. Banyak tokoh budaya dan seniman bergerak dengan caranya masing-masing. Gerakan mahasiswa yang tengah menggeliat dan baru saja berhasil mengkonsolidasikan diri ke dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), turut menjalankan aksi yang dapat dikatakan sebagai aksi terpanjang dalam sejarah gerakan mahasiswa pada masa itu. Seingat Kobar, aksi yang dilangsungkan setiap hari di depan Gedung Senisono dan menyediakan panggung pertunjukan berlangsung sekitar satu bulan penuh. Solidaritas dari berbagai kota berdatangan. Ya, Kobar masih ingat, saat itu Iwan Fals, juga turut memberikan dukungan, bernyanyi di panggung dengan lagu baru yang katanya dibuat di kereta saat perjalanan ke Yogya: “Nak”
Ya, Kobar sering datang, turut menyaksikan orasi, pembacaan puisi dan pementasan musik. Tahun 1991, waktunya. (Bersambung)
Yogyakarta 27 Desember 2013
Bagian (3) dari GEJOLAK RASA
aduuuhhhh…jadi pengen napak tilas di Jogja…
Ayo..ayo.. segera saja Mbak Ayu Larasati..
Tapi kalau musim liburan seperti sekarang ini
padeeeeeeeeeeeeeeeeeettttttttt…
He.h.eh.e., makasih ya, kunjungannya
Makasih Mbak Yety…
Manstaf 🙂