Jika kita membuka Al-Qur’an, kita akan menemukan berbagai istilah Arab yang kemudian diterjemahkan sebagai “pemimpin”. Ada istilah khalifah, imam, malik, amir, waliyy dll. dengan segala turunan atau perubahan katanya. Satu-satunya istilah kepemimpinan di atas yang bersanding dengan istilah kafirdalam Al-Qur’an, adalah waliyy.
Makna kafir sendiri secara bahasa adalah “menutup”.Lazimnya istilah ini kemudian dipahami dan dipakai umat Islam untuk menyebut orang yang “menutup diri dari kebenaran” atau “tidak mau menerima kebenaran”, yang mana kebenaran tersebut adalah ajaran Islam.
Dengan demikian, kalangan non Muslim yang telah menerima dakwah Islam namun tidak mau memeluk Islam termasuk kategori kafir. Landasan untuk berinteraksi atau bergaul dengan orang-orang kafir bertebaran di dalam Al-Qur’an, yang secara mendasar (dan paling populer) termaktub dalam Q.S. 109:6, “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. Islam menegaskan bahwa persoalan keyakinan tidak boleh dicampuradukkan dan menjadi hak masing-masing pribadi untuk menjalankannya.
Akan halnya kata waliyy dan bentuk-bentuk turunannya seperti awliya (bentuk jamak) dan maula, ternyata tidak hanya diartikan sebagai “pemimpin” dalam Al-Qur’an. Ketika disebutkan bersama kata kafir, kita bisa menemukan kata waliyy diterjemahkan juga sebagai “pelindung” (Q.S. 4:89), “penolong” (Q.S. 4:89,139 dan Q.S. 60:13), dan “teman-teman setia” (Q.S. 60:1-2). Jika kita gabungkan makna-makna tersebut, kiranya tepat jika kata waliyy dimaknai sebagai “orang yang kita ikuti, cintai atau patuhi karena melindungi atau menolong kita”.
Yang menarik, dalam ayat-ayat tersebut ternyata ditegaskan “spesifikasi” orang-orang kafir yang dilarang diambil menjadi waliyy. Orang-orang kafir tersebut adalah yang:
- Mengusir Rasulullah dan mengusir umat Islam karena mereka beriman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. {1} Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti (mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. {2}[Q.S. 60:1-2]
- Menjadikan Islam ejekan dan permainan:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.[Q.S. 5:57]
- Menginginkan orang Islam ikut menjadi kafir (Q.S. 4:89)
Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong (mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong[Q.S. 4:89]
Ada tiga ayat yang seolah-olah melarang setiap orang kafir diangkat menjadi waliyy, yaitu Q.S. 60:13, Q.S. 4:138-139, dan Q.S. 9:23-24 dan. Namun kita perlu menelaah dahulu konteks ayat tersebut, baik langsungdari sebab-sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) maupun dari karya tafsir yang otoritatif. Dari konteks tersebut, ternyata terlihat bahwa ayat-ayat ini sebagaimana tiga ayat sebelumnya, juga mengacu pada orang-orang kafir yang memusuhi Islam khususnya dalam kondisi peperangan.
Mari kita lihat Q.S. 60:13 tentang larangan mengangkat waliyy dari “kaum yang dimurkai Allah”:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmukaum yang dimurkai Allah, sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa.[Q.S. 60:13]
Asbabun nuzul ayat ini adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Ibnu Ishaq, dari ‘Ikrimah dari Abu Sa’id, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar dan Zaid bin al-Harits bersahabat akrab dengan segolongan kaum Yahudi. Maka turunlah ayat ini (al-Mumtahanah: 13) yang melarang berkawan dengan kaum yang dimurkai Allah.
Segolongan kaum Yahudi yang dimaksud dalam riwayat ini adalah kaum Yahudi di Madinah. Kaum Yahudi Madinah ini, kemudian hari diusir Rasulullah Saw. karena bersekongkol dengan kaum musyrikin Quraisy menikam umat Islam dari belakang pada saat Perang Khandaq (parit).
Pengkhususan ayat ini bagi orang-orang kafir yang memusuhi Islam juga ditegaskan oleh ayat lain dalam Surat ke-60 (Al-Mumtahanah) ini yaitu:
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. [Q.S. 60:8]
Dengan demikian jelas bahwa orang-orang kafir yang tidak memerangi Islam haruslah dipandang secara fair dan diperlakukan dengan baik.
Berikutnya kita coba lihat Q.S.4:138-139:
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, {138} (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.{139}[Q.S. 4:138-139]
Ayat (138) jelas berbicara tentang orang-orang munafik. Lantas apakah orang-orang yang mengambil SETIAP orang kafir lantas tergolong munafik sebagaimana tersurat dalam ayat (139) berikutnya? Ternyata tidak.
Buktinya, Tafsir Al-Qur’an keluaran Departemen Agama RI, memberikan penjelasan ayat (139) sebagai berikut:
Kemudian Allah Swt. menerangkan sifat-sifat mereka yang pantas dicela, yaitu orang-orang munafik itu sebenarnya bersekongkol dengan orang orang kafir yang memusuhi orang-orang mukmin dan tidak mengacuhkan orang-orang mukmin bahkan dalam saat-saat yang penting mereka membantu orang-orang kafir, karena mereka berkeyakinan bahwa kemenangan akan diperoleh orang-orang kafir.
Lagi-lagi jelas bahwa orang-orang kafir yang dimaksud ayat ini adalah yang memusuhi umat Islam.
Kita beranjak pada Q.S. 9:23-24 yang berbicara tentang larangan mengangkat waliyyorang-orang yang “lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan”.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. {23} Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.{24}[Q.S. 9:23-24]
Dalam Tafsir Al-Qur’an keluaran Departemen Agama RI, dijelaskan bahwa:
Ayat ini diturunkan sehubungan dengan sikap sebagian kaum Muslimin sewaktu diperintah hijrah ke Madinah, mereka menjawab: “Jika kami hijrah, putuslah hubungan kami dengan orang-orang tua kami, anak-anak dan famili-famili kami, hancurlah perdagangan kami dan akhirnya kami menjadi orang yang sia-sia.”
Di dalam ayat ini Allah swt. melarang orang yang beriman menjadikan ibu bapak dan saudara-saudara mereka yang masih kafir menjadi pemimpin karena dikhawatirkan mereka akan mengetahui keadaan kaum muslim dan kekuatan persiapannya. Perbuatan yang serupa itu akan berarti kekuatan bagi kaum kafir untuk menentang kaum Muslimin.
Orang-orang mukmin yang tidak menaati larangan itu, yaitu di dalam keadaan perang, mereka masih membantu orang-orang kafir karena yang dibantu itu ada hubungan kekeluargaan. Orang yang demikian itu adalah orang yang lalim terhadap dirinya dan terhadap pengikut-pengikutnya.
Kembali jelas bahwa ayat-ayat larangan mengangkat waliyy dari kalangan non Muslim (kafir) sesungguhnya berlaku dalam situasi dimana mereka memerangi atau memusuhi umat Islam.
Bagaimana dengan orang-orang non Muslim yang justru melindungi atau menolong Muslim? Mereka ini boleh (dan memang telah) dijadikan waliyy. Jika kita membaca sirah nabawiyah, jelas tercatat bagaimana Rasulullah Saw. pernah meminta perlindungan bagi kaum Muslimin pada (baca: menjadikan waliyy) penguasa atau orang-orang non Muslim. Salah satunya adalah Kaisar Najasyi (Negus) yang beragama Nasrani. Ethiopiamenjadi tempat tujuan hijrah pertama umat Islam sebelum Madinah. Hijrah dari Makkah ke Ethiopia berlangsung hingga dua gelombang dengan total kaum muslimin yang ikut sebanyak 116 orang. Kaum Quraisy yang mengetahui hal ini langsung mengirim utusan untuk meminta Raja Najasyi memulangkan kontingen kaum Muslimin ini. Permintaan tersebut ditolak dengan tegas oleh beliau.
Karena itulah, mantan Rektor Universitas Al-Azhar, (Alm.) Syeikh Muhammad Sayyid Thanthowi dalam Kitab Tafsir Thanthowi menegaskan bahwa larangan mengangkat waliyy atau pemimpin dari kalangan non Muslim tidaklah berlaku mutlak. Larangan ini hanya berlaku untuk orang-orang kafir (non Muslim) yang memusuhi Islam, atau dalam kondisi peperangan.
Syeikh Thanthowi yang wafat pada 2010, tidak sendirian berpendapat demikian. Pandangan beliau didukung oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi, ulama populer kelahiran Qatar. Dalam buku Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam, doktor alumni Universitas Al-Azhar itu mengatakan, orang-orang Islam dilarang mengangkat orang-orang non Muslim sebagai teman, orang kepercayaan, penolong, pelindung, pengurus dan pemimpin, bukan semata-mata karena beda agama. Akan tetapi, karena mereka membenci agama Islam dan memerangi orang-orang Islam, atau dalam bahasa Al-Quran disebut memusuhi Allah dan Rasul-Nya.
Ratusan tahun sebelumnya, sudah ada ulama yang berpendapat serupa dengan kedua ulama modern di atas. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, seorang ulama yang dianggap mujaddid (pembaharu) dan mujahid besar Islam pada abad 7 M, menulis hal inidalam kitabnya Majmu’ Fatawa hal 63 jilid 28. Beliau berkata: “Sesungguhnya manusia tidak berbeda pendapat bahwa kezaliman berakhir dengan kecelakaan dan keadilan berakhir dengan kemuliaan dan oleh sebab itu ada diriwayatkan: Allah membantu kerajaan yang adil walaupun ia kerajaan kafir, dan Dia tidak membantu kerajaan yang zalim walaupun ia kerajaan yang beriman.”
Ulama Al-Azhar yang Syaikh Ahmad Musthofa Al-Maraghi dalam kitab tafsirnya,Tafsir Al-Maraghi menafsirkan Al-Qur`an Surat Ali Imran ayat 118, bahwa orang-orang Islam dilarang mengambil orang-orang non Muslim, seperti orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik sebagai pemimpin atau teman setia, bila mereka memiliki sifat-sifat seperti yang ditentukan dalam ayat tersebut, yaitu:
- Mereka tidak segan-segan merusakkan dan mencelakakan urusan orang-orang Islam.
- Mereka menginginkan urusan agama dan urusan dunia orang-orang Islam dalam kesulitan yang besar.
- Mereka menampakkan kebencian kepada orang-orang Islam melalui mulut mereka yang terang-terangan.
Sifat-sifat tersebut adalah persyaratan yang menyebabkan dilarangnya mengambil pemimpin dan teman setia yang bukan dari orang-orang Islam. Orang-orang Yahudi awalnya terkenal paling memusuhi orang-orang Islam, kemudian mereka mengubah sikap dengan mendukung Islam dalam penaklukan Andalusia. Demikian pula orang-orang Kristen Koptik di Mesir yang membantu orang-orang Islam mengusir orang-orang Romawi yang menduduki lembah Sungai Nil. Dalam keadaan seperti itu tidak dilarang mengambil mereka sebagai pemimpin atau teman setia.
Hari ini, masih banyak non Muslim yang tidak memusuhi, malahan melindungi dan membantu umat Islam. Contohnya adalah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)yang mendirikan banyak masjid di Belitung (lihat http://www.tribunnews.com/metropolitan/2012/06/09/saat-jadi-bupati-belitung-timur-ahok-banyak-bangun-mesjid). Bukan hanya itu, beliau juga menghajikan banyak guru mengaji dan para ustadz semasa masih menjabat Bupati Belitung Timur (lihat http://www.wartamerdeka.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2472:waktu-ahok-bupati-belitung-timur-banyak-hajikan-guru-ngaji&catid=77:dki-jakarta&Itemid=420). Bahkan Ahoklah (Plt) gubernur DKI Jakarta pertama yang berani menutup Diskotik Stadium di Jakarta (lihat: http://dkinews.com/metropolitan/hiburan/4967-pemda-dki-tutup-diskotik-stadium), suatu hal yang bertahun-tahun tidak pernah dilakukan para pendahulunya, dan dibiarkan saja oleh FPI (Front Pembela Islam).
Sosok seperti Ahokjelas tidaklah haram diangkat menjadi waliyy (dalam makna pemimpin yang melindungi). Bahkan dalam praktiknya, beliau sebenarnya sudah menjadi waliyy yang melindungi dan menolong umat Islam.
Karena itu, tidak ada yang salah dengan kicauanda’i kondang dari Bandung, K.H. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) di Twitter.Beliau berujar: “Yang pilih Jokowi artinya memilih Ahok jadi gubernur”. Lantas, mengapa Ahok tidak boleh menjadi gubernur?
Penulis : Darmawan Mahardika