Waktu di sekolah dasar saya dulu,… Iya deh, tahunnya tahun kuda gigit besi. Waktu di sekolah dasar dulu, sekolah saya memiliki titian kokoh dari besi. Gunanya untuk pelajaran keseimbangan alias meniti. Sampai sekarang saya tidak mengerti mengapa sekolah saya memiliki palang besi sekokoh dan sebesar itu khusus untuk pelajaran meniti, tetapi tidak punya perlengkapan lapangan atletik? Misalnya lapangan khusus tolak peluru, lempar lembing atau lompat galah? Kenapa yang ada hanya perlengkapan untuk pelajaran meniti keseimbangan? Nggak tahu deh alasannya apa. Mungkin murah, meriah dan menghibur daripada membangun gelanggang atletik, kan biayanya mahal? Maklum berlokasi di kota kecil saja.
Saya suka pelajaran meniti itu, lalu bermain sambil jalan – jalan diatas balok besi bulat. Keseimbangan saya cukup bagus, tidak pernah terpeleset jatuh sepanjang tidak mengenakan sepatu dengan sol licin. Apalagi jika meniti besi bulat dengan bertelanjang kaki, lebih mudah lagi. Nggak pernah terjatuh. Demikian pun ketika melakukan olah tubuh yoga yang saya gemari. Pada beberapa gerakan mungkin masih sulit dan tubuh sangat kaku. Tetapi saya cukup baik pada bagian keseimbangan, misalnya berdiri dengan satu kaki selama beberapa menit, atau sejenis push-up dengan satu kaki. Pada intinya insting saya untuk melakukaan hal yang seimbang cukup baik dan tidak mudah terganggu. Ada beberapa orang yang tubuhnya lebih lemas dan tidak kaku tetapi pada ajang keseimbangan sering limbung kesana – kemari lalu jatuh terjungkal. Ini kelebihan dan kekurangan daya tubuh manusia yang memang berbeda.
Mengenang latihan keseimbangan pada titian di masa sekolah dasar itu, hidup kini membawa saya pada lautan perjalanan yang lompatannya jauh sekian dasa warsa. Dan saya harus kembali mempertahankan kemahiran untuk melakukan keseimbangan pada titian. Kali ini bukan sekedar jenis titian ujian mata pelajaran olah raga anak SD, tetapi titian di kehidupan. Kadang gemas karena sulit sekali menyeimbangkan diri dengan segala tuntutan aktivitas yang harus dilaksanakan. Pusing sekali memilih apa yang harus dilakukan terlebih dulu? Ketika “hanya saya” tanpa embel – embel karyawati, istri, ibu, anggota redaksi majalah, anggota klub ini dan anggota sekolah anu, mungkin pilihan saya hanya : makan – tidur – menulis dan membaca. Masa bodohlah mau berpenampilan seperti pemain ludruk dengan daster karung goni dan rambut awut-awutan. Namun ketika embel – embel lain ditempelkan, tuntutan keseimbangan menjadi seribu satu. Banyak beneeer,….
Pusing ketika belum menulis untuk majalah, pusing ketika anak saya ujian dan belajar harus diawasi ‘ala herder’, pusing ketika suami sakit dan perawatannya lama berliku, pusing ketika tidak sempat melakukan yoga, pusing ketika tidak datang di acara keagamaan, pusing ketika melewatkan undangan nikah teman, bahkan merasa tak enak hati ketika teman datang dari luar kota dan mengajak reuni setelah berpuluh tahun tak jumpa –tak sempat datang pula! Banyak beneeer,… Aduh capek! Ini juga termasuk masih harus membersihkan rumah, menggoreng ini – itu, menyetrika dan menulis di ketikketik! Hyaa,….ampun. Kalau dipikir setelah melewati masa SD sekian dasa warsa, hidup kini seperti bermain juggling. Melempar aneka bola ke atas dan bergantian menangkap serta memutarnya bolak – balik agar semuanya seimbang dan tidak ada yang jatuh menggelinding. Beware, saudara – saudaraku. Pandai – pandailah Anda bermain juggling dalam kehidupan, mengatur waktu, mengatur prioritas dan menjaga relasi. Jaga keseimbangan agar tak jatuh terpeleset. Keseimbangan hilang ketika Anda mengeluarkan jeritan – jeritan maut bernada frustrasi seperti, kampr*t, sh*t, ampuuun dijeeh, ya astaga, twolonk, sial lu, anjrit, dst…
foto : juggling-life
Kesimbangan kata kuncinya ya Ci Jo, kalau gak seimbang ya resikonya jatuh. Tetapi lebih adri itu keseimbangan antara keduniawian dan kerohanian menurut saya sejatinya menjadi prioritas
kalau itu ya sudah seharusnya…. itu mendasar…nggak perlu dibahas lagi 😛
Iya, Mbak. “Me time” saya biasanya di kamar mandi, di situ biasanya saat saya merasa menjadi diri sendiri tanpa stempel sebagai suami, ayah, editor, dsb, dsb *dengan catatan selama pintu kamar mandi nggak digedor karena mendadak ada saja anggota keluarga yang merasa harus ke kamar mandi untuk sekadar naruh piring kotor 🙂
Lho…naruh piring kotor kok dikamar mandi Mas Ryan..bukannya di sink..bak cuci…