Fiksi  

Reuni Ica

Bangunan itu masih berdiri kokoh di tempatnya. Tak ada yang berubah, bahkan warna catnya. Namun terasa baru, tidak kusam. Beberapa orang terlihat keluar masuk dari beberapa pintu di tempat itu. Aku tersenyum kecil, masih sama ternyata. Sebuah bangunan yang difungsikan menjadi tempat berkumpulnya beberapa aktivitas mahasiswa, ah kutebak sekat pembatasnya kurasa masih sama. Mengingatkanku pada beberapa tahun lalu, dimana aku menjadi bagian dari mereka yang keluar masuk di gedung itu. Aku terkekeh pelan, mengingatkan sekat pembatas yang hanya sebuah papan triplex. Bisa dibayangkan dong bila sedang rapat, volume suara tetap akan terdengar ke sebelah, pun sebaliknya. Tapi yang namanya rapat, terdiri beberapa kepala yang bisa terjadi saling mempertahankan pendapat. Ujungnya volume suara meninggi, hihihi… Ini yang bikin nggak enak ama sebelah. Eh tetapi anak muda, cuek aja sih apalagi para tetangga sama saja. Sebelas dua belas.

 

“Woy Ca, mau disini aja! BURUAN AH!!”

Aku tersentak. Kaget. Menyadari siapa yang berbicara, aku langsung menekukkan wajah.

“Bentaran ngapa sih! Guekan udah lama nggak lihat nih gedung,” jawabku sedikit kesal. Nggak tahu orang lagi mengenang masa lalu sih nih orang, gumamku.

Alin tertawa. “Salah siapa lo nggak pernah kesini?”Aku manyun.

“Kan lo tahu, gue kerja dimana Lin!” Ucapku pelan.

Lagi- lagi Alin tertawa. Ia menghampiriku. Menepuk- nepuk pipi kiriku dengan tangan kanannya. “Makanya sering balik, Beb!”

“Susah libur, Lin. “Jawabku singkat. Alasan paling umum yang kupakai.

Alin mencibir, “Halah alasan lo! Bilang aja lo males balik males ketemu tuh orang kan,”

Aku nyengir, “Sok tahu lo!”

“Lo mah nggak move on- move on. Udah yuk ke GSG, anak- anak udah nungguin nih!” Ajak Alin yang menarik tanganku. Kupandangi bangunan itu kembali sebelum pergi, aku menghela nafas. Alin mungkin benar, aku belum move on. Apalagi melihat bangunan tempat kami pertama bertemu.

“Icccaaaaaaaaaaa,” histeris beberapa suara setiba aku di pelataran GSG, tempat berlangsungnya reuni jurusanku.

Aku tersenyum riang menyadari suara- suara keras tadi berasal dari teman- temanku.

Ya ampun, mereka masih saja berisik, gumamku dalam hati. Beberapa memeluk tubuhku.

“Kemana aja sih lo?” , aku terkekeh menanggapi pertanyaan Sita.

“Iya nih, nggak pernah mau ngumpul lagi,” Runi menimpali.

“Nggak kangen lo sama kita- kita?”

“Ica sibuk ih,”

“Wanita karir mah susah oy!” Kupelototi Alin yang ikut menimpali ucapan yang lain. Tetapi human Alin namanya kalau tak menanggapiku dengan tertawa.

“Yaudah sih, sekarangkan gue disini juga,” jawabku santai.

“Emang orang sombong diundang ya?” Sebuah suara terdengar ditelingaku. Segera aku membalikkan badan, aku pun tersenyum mendapati….

“Aw, ”

“Sombong amat sih lo! Nggak inget rumah, non! ” omelnya sesaat tepat setelah menjitak kepalaku. Sial,

Aku meringis sambil mengusap- usap kepala. “Sakit, Do!”

Edo, orang yang sukses menjitakku tertawa kecil. “Biarin,” ucapnya sambil menjulurkan lidah. Ish, kayak anak kecil sih.

“Makanya jangan sombong- sombong,” Katanya kemudian.

Refleks kutoyor kepalanya, “Siapa sih yang sombong! Lo bbm juga sms gue bales. Lo telpon gw angkat, lo komen di Facebook aja gue komen balik, apa yang kurang?” ucapku tak mau kalah.

“Iya, tapi lo nggak pernah ngumpul bareng kita lagi, Ica sayanggggg,”

Aku bergidik geli mendengar akhir kalimatnya, apalagi melihat gaya cengengesan khas Edo, huft…..

“Males ketemu lo!” Ujarku singkat.

“Heh, apaan kalian ini ketemu- ketemu ribut!” ucap Alin menengahi,

“Halah, Ica dan Edo berantem! Bentar lagi juga akur, Lin,” Sahut Kayla, salah seorang temanku yang tadi ikut memelukku

Aku menatap Edo yang ternyata juga menatapku. Kamipun tertawa, tak lama kurasakan Edo memelukku.

“Kangen gue sama lo Ca,”

Aku mengangguk. Sama, batinku. Kangen semua.

“Tuhkan, gue bilang juga apa! Akur kan akur!” Celetukan Kayla membuatku tersenyum. Yah Edo, seorang sahabat lelaki yang terbaik yang kupunya saat masa- masa kuliah. Ia benar- benar tempat “sampahku”, pendengar setia juga teman jalan terbaik.

“Nikah aja kalian berdua ini lah,” celetukan Runi membuatku terbelalak. Nikah! Sama Edo! Ya Tuhan…..

“Iyaaaaaaa, setuju gue!” Sebuah suara mengiyakan.

“Sepakat,” siapa lagi ini,

Aku menatap Edo yang malah terlihat menahan tawa. Aku melotot menatapnya. Rese, masih aja usil.

“Ogah ah, rugi gue!” Ucapku secepatnya sambil menatap tajam Edo.

“Apalagi sih Ca yang lo cari! S2 kelar, karir OK,” Kata Sita semangat, “Lo juga Do, jadi playboy aja bangga!” Cibirnya pada Edo yang justru membuatku tergelak.

“Hisss, emak- emak satu ini pasti ngomongin kawin deh,” gerutu Edo.

“Nikah Do nikah,” ucap Sita membenarkan. Nikah, kawin emang beda ya? Bukankah persamaan kata. Aku semakin tertawa melihat ekspresi Edo yang terlihat sangat kesal dengan ucapan Sita yang menyinggung- nyinggung soal nikah.

“Sudah ah, ribut aja! Masuk yuk, acara mau mulai,” ajak Alin pada kami semua.

“Daripada Edo, mending Langga,” kataku menyebutkan seorang teman sekelasku dulu yang notabenenya idola kampus, “eh, masih jomblo kan dia?”

“Mau looooo,” kompak suara teman- teman menjawab pertanyaanku yang membuatku semakin tertawa. Kali ini ketika di tempat yang banyak menyimpan cerita tentangmu, biarkan aku melupakanmu sejenak.

“Lo masih belum bisa ngelupain dia ya?” Tanya Edo yang kini duduk disebelahku. Pasca acara reuni yang cukup ramai, ya namanya reuni satu jurusan semua angkatan pula kami -aku dan beberapa teman- memilih berkumpul kembali di sebuah taman kota yang memang dijadikan tempat nongkrongnya anak muda kota ini. Menghabiskan jalan, ajak Edo. Tentu saja acara ini hanya melibatkan para single saja.

“Ca,” panggil Edo. Kami berdua memang duduk bersisian menunggu jagung bakar yang di pesan. Beberapa teman juga asyik mengobrol.

Aku tersenyum menatapnya, “Sok Tahu lo,” cibirku

Edo menggelengkan kepala, “Kenapa Ca, nggak mau ngaku sih lo!”

Aku terdiam. Memilih memandang langit yang dipenuhi bintang. Ah, sayang bulan tak menyapa malam ini.

“Lo milih nggak mau mampir ke kota ini karena dia kan, Ca.” Tambahnya kemudian,

“Asal,” jawabku. “Lo kan tahu gue dimana,”

“Iye tahu, abis balik dari Aussie ngapa lo nggak balik kesini lagi?”

“Langsung kerja gue, Do.” Aku membela diri. Ah, benarkah ini alasannya.

“Aaarrrrrggggghhhh, sesibuk apa sih lo sampai liburan pun nggak pulang?” Edo terdengar menghela nafas, “Kata nyokap juga lo jarang balik ke rumah,”

Aku nyengir, “Bunda malah sering ke Jakarta, nggak pusing gue Do!”

Edo berdiri, “Pusing ah, ngomong sama lo,” Katanya frustasi sambil membawa jagung bakar menghampiri teman- teman yang lain.

 

Aku tersenyum. Miris. Lagi- lagi kupandangi langit malam ini. Sejenak aku memikirkan kata- kata Alin dan Edo, sahabatku. Benarkah aku masih belum dapat melupakannya?

Lima tahun sudah berlalu, tetapi aku masih mengingat suaranya, senyumnya juga tawanya dengan jelas. Tak kupungkiri semua sudut kota mengingatkanku padanya. Ini yang membuatku enggan berkunjung ke kota yang kutinggali saat kuliah, padahal jaraknya pun hanya 2 jam dari rumahku. Aku pun lebih memilih mengambil tawaran pekerjaan di kota besar setelah kuliah magisterku selesai. Sesekali pulang menengok keluargaku tanpa pernah mau menginjakkan kaki di kota ini lagi. Hingga akhirnya hari ini aku menyerah malah pada bujuk rayu Alin yang memaksaku wajib hadir di reuni jurusan. Sampai ia menjamin takkan ada pertemuan diantara kami berdua, ya iyalah kamikan berbeda jurusan. Aku tersenyum getir menatap sekeliling, tempat ini pun tak berubah. Tempat yang juga pernah jadi bagian aku dan….

 

“Ica,”

Suara itu, aku menggeleng menyakinkan diri hanya halusinasi.

 

“Cahya Kirana,”

Tidak mungkin,

Kubalikkan badanku dan terbelalak tak percaya. Lututku terasa lemas dan…

“Arya,” mulutku pun akhirnya menyebut namanya.

 

 

(ISL)

Bandung, 12 Maret 2014

PS. Lanjutan cerpen “Kado Manis di Ultah Ica”, cuma disesuaikan tahun aja kok. Entah lagi suka manjang- manjangin cerpen. Kalo ditanya kelanjutannya,hee.. Belum tahu yaaaa. #belum beride 🙂

 

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *