Pagi ini saat akan berangkat ke kantor, Danu mengikutiku. Pemuda itu menatapku penuh harap dan aku tahu apa yang diinginkannya.
“Kapan,mbak?”tanyanya seolah mengingatkanku akan sesuatu. Entah untuk kesekian kali dia menanyakan dan aku dengan rasa bersalah selalu menjawab,
“Maaf ya, Danu. Mbak masih sibuk.” kataku memasang wajah menyesal. Aku tidak punya pilihan lain, kesibukanku benar-benar menyita waktu. Aku belum sempat membuatkan cerpen sesuai pesanannya. Cerpen tentang ungkapan hatinya pada seorang gadis.
“Jadi kapan mbak bisanya?” dia menjejari langkahku. Aku menoleh melihatnya. Sorot matanya yang sangat berharap membuatku bimbang. Ada rasa iba yang hadir.
“Ehmmmm..” aku mengingat jadwalku hari ini. Ada beberapa tugas tapi itu bisa aku lakukan besok.
“Baiklah, malam ini aku akan coba membuatnya..” jawabanku menghadirkan binar dimatanya. Dia tersenyum bahagia.
“Makasih,mbak.” Ucapnya lalu meninggalkanku.
***
“Priska, jangan pulang dulu. Pak Mahmud sudah ngomel dari pagi. Pokoknya malam ini, tugas ini harus kelar kalau perlu kita lembur..” aku terperangah mendengar ucapan mas Hendri yang mendadak masuk ruangan saat aku tengah bersiap-siap untuk pulang.
Kuturunkan kembali tas dan jaket yang menggantung manis di lenganku sambil melihat jam dinding yang telah menunjukkan angka tujuh. Aku hanya bisa menatap lesu tumpukan berkas yang diletakkan mas Hendri di atas mejanya.
“Priska? Kok malah bengong? Nih.” jari telunjuk mas Hendri menunjuk tumpukan berkas itu. Aku bergerak mendekati meja mas Hendri lalu jemariku membuka-buka lembaran berkas-berkas itu.
“Ada apa? Wajahmu kok manyun begitu?” Aku memaksa diriku untuk tersenyum sambil memindahkan beberapa berkas ke mejaku. Pikiranku mengembara pada sosok Danu, pemuda yang sejak sebulan lalu meminta tolong padaku untuk dibuatkan cerpen. Teringat janjiku padanya membuatku gelisah.
“Jangan memasang wajah seperti itu. Aku paham perasaanmu tapi kita terpaksa menyelesaikan ini karena mas Dewa lagi sakit.” Suara mas Hendri terdengar lagi.
“Iya, mas.” Jawabku akhirnya.
Kuraih BB lalu mengirim pesan BBM pada Danu. Namun hanya tanda centang. Aku makin gelisah sementara jam terus bergerak maju. Aku terus menunggu sembari tanganku berkutat menyelesaikan tugas. Mengetik data-data yang ada di berkas pada layar komputer.
Jarum pendek jam dinding kini tepat pada angka sembilan, sementara jarum panjangnya berada di angka enam. Aku mendesah. Resah. Kulihat lagi BB ku, masih tanda centang. Belum ada balasan dari Danu. Padahal aku berharap dia segera membaca pesanku, agar dia tahu jika malam ini aku belum bisa menepati janjiku.
Handphoneku berdering, sigap aku menyambarnya. Kubaca layarnya dan aku hanya bisa bersandar lesu. Bukan namanya yang ada dilayar tapi mamaku yang menanyakan keberadaanku lantaran hingga kini aku belum pulang.
Tak ada yang bisa aku lakukan. Aku tak punya nomor handphone Danu, pesan BBM juga masih tanda centang yang artinya belum sempat dibaca. Akhirnya aku pasrah menjalani waktu bersama tugas mendadak yang merusak jadwalku.
Jam sebelas pekerjaan kami akhirnya selesai.
***
Pagi hari aku sengaja menunggu Danu karena pesanku belum juga sempat terbaca olehnya. Aku mengintip lewat teras, tak ada tanda-tanda kehadirannya. Biasanya saat pagi dia melintas menuju warung. Namun hingga berangkat ke kantor, sosoknya tak juga hadir.
“Kamu berkemas sekarang, Priska. Mas Dewa kamu yang gantiin..” sambut mas Hendri ketika aku baru tiba di ruangan.
“Hari ini rencananya mas Dewa yang ke Palu, karena dia mendadak sakit ya batal. Hanya kamu yang bisa menggantikan dia.”
Aku terdiam sejenak. Bingung dengan pemberitahuan mendadak ini.
“Berapa hari, mas?” tanyaku akhirnya.
“Seminggu.”
Aku bergegas pulang ke rumah. Berkemas lalu pamit pada mama. Kutarik koperku menuju taksi yang menunggu. Masih tersisa waktu untuk menuju bandara. Tiket pesawat mas Dewa telah diganti dengan namaku. Sepertinya hari-hariku akan sangat sibuk.
***
Seperti yang aku perkirakan. Sejak tiba di hotel, jadwal telah diberikan oleh panitia. Mulai pagi hingga malam telah tersusun jadwal untuk training kali ini. Benar-benar hari yang melelahkan. Meski sibuk aku terus mengecek pesan atau panggilan masuk di handphoneku, namun tak ada satupun dari Danu.
Entah mengapa aku sangat khawatir karena pemuda itu belum mengirim pesan balasan. Saat malam menjelang tubuhku tak bisa lagi bekerja sama, aku terlelap tanpa sempat memeriksa handphoneku.
Hingga hari ketujuh aku mengikuti pelatihan, tak ada kabar dari Danu. Hari ini pelatihan terakhir, acara tak lagi seketat hari-hari sebelumnya. Kami lebih banyak berdiskusi. Iseng-iseng aku membuka pesan yang baru saja masuk. Tak ada nama pengirim hanya deretan nomor yang tertera.
“Mbak cerpen itu nggak usah dibuat. Semua tidak penting lagi. Gadis itu sudah meninggal, dia tidak akan pernah membaca ungkapan perasaanku padanya.”
Dari Danu! Aku terbelalak kaget tak menyangka akhirnya pemuda itu membalas pesanku. Aku mengulang membaca pesannya untuk menyakinkan jika benar Danu yang telah mengirimnya. Pada kalimat akhir ada nama pemuda itu. Berarti benar dia yang telah mengirim pesan ini.
Aku duduk dengan gelisah. Pikiranku kacau. Aku tak dapat menyimak dengan baik jalannya diskusi. Aku tak sabar untuk segera menelpon Danu, menanyakan kebenaran dari kabar yang dikirimnya. Namun panggilan telpon dariku tidak diangkat. Bahkan sesaat sebelum aku naik pesawat,, pemuda itu tak juga menerima telponnya.
***
“Danu belum kembali, mbak. Dia pulang kampung.” Jawab temannya ketika aku mampir di rumah kostnya.
“Kapan dia pulang?”
“Belum tahu..”
Aku kembali ke rumah dengan rasa penasaran yang menggunung. Aku tak sabar ingin segera mengetahui keadaan pemuda itu. Baru saja aku menghempaskan tubuhku di tempat tidur, pesan BBM masuk. Dari Danu, aku segera membacanya..
Maaf sudah merepotkan mbak. Sebenarnya saat meminta tolong pada mbak untuk membuat cerpen itu, saya sangat berharap. Karena gadis itu sedang sakit parah. Mungkin itu adalah kesempatan terakhir bagi saya untuk menyatakan perasaan. Saya terus menunggu namun mbak terlalu sibuk. Rasanya tidak enak terus mendesak mbak. Sekarang gadis itu telah tiada. Dia bahkan tak tahu kalau saya mencintainya…
Airmataku berlinang saat membaca pesannya. Seandainya saja aku tahu jika gadis yang disukai Danu sedang diambang kematian, aku tentu akan berusaha untuk menyelesaikan cerpen sesuai permintaannya. Namun aku terus menunda dan akhirnya tak ada kesempatan sedikitpun.
Perasaan bersalah, menyesal dan sedih berbaur dalam hatiku. Aku tidak sabar untuk bertemu dengan Danu. Meski telah mengirim pesan duka dan permintaan maaf padanya, tetap tak bisa menghapus rasa sesal dalam hatiku. Maafkan aku karena mengabaikan permintaanmu.
======================
Desa Rangkat adalah komunitas yang terbentuk berdasarkan kesamaan minat dalam dunia tulis menulis fiksi. Jika berkenan silahkan berkunjung, berkenalan, dan bermain peran dan fiksi bersama kami di Desa Rangkat, klik logo kami
haduhhhh 🙁
makasih nanda udah berkunjung (sodorin sapu tangan)
:2thumbup
Makasih mas Kate 🙂
buah dari ‘menunda pekerjaan’….eeh, begitu ya jeng Asih
nice post, mewek membacanya. membayangkan betapa sangat menyesalnya Danu
Makasih ma, penyesalan selalu datang terlambat
Berharap cerita itu hanya fiksi, bukan kejadian nyata.:(
ini hanya fiksi mbak Kim 🙂
Sedih.. Menyegerakan menolong orang itu penting…
Benar mbak Yety, makasih sudah berkunjung 🙂
Wewww… lama gak baca tulisan Asih..
Ternyata makin maknyus…
Tinggal nunggu bukunya nehh… buruan atuh diterbitkan…
Makasih mas Hans 🙂