Gaya  

Sepatutnya Memang Kita Harus Bersusah

 

Sepatutnya Memang Kita Harus Bersusah

Oleh Odi Shalahuddin

“Kini Ibu Sedang Susah
Merintih dan berdoa..” 

Penggalan lirik dari Lagu ”Ibu Pertiwi” yang konon nada, irama, birama, notasi, kecuali liriknya dinilai sama persis dengan lagu gerejawi yang diterjemahkan dari karya Charles Croizart Converse seorang komposer Amerika Serikat,  tampaknya sangat relevan dengan carut marut situasi dan kondisi kehidupan bangsa kita di Indonesia, beberapa tahun terakhir ini.

Belum banyak terungkap mengenai sejarah-sejarah kelam yang berbau amis darah yang mengusik rasa kemanusiaan dan menciderai perjalanan kita sebagai bangsa dan negara di masa naik dan turunnya kekuasaan otoritarian Orde Baru, pergantian kekuasaan yang terjadi, tetap saja masih menyisakan tabir gelap.

Era reformasi, yang dimulai pada tahun 1998, diakui memang telah membuka keran ”demokrasi” sebesar-besarnya. Tidak ada lagi, misalnya organisasi yang ketakutan untuk menggunakan istilah ”presiden” guna menyebut eksekutif-nya. Kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapat, benar-benar terbuka, tanpa harus berwaspada dengan ancaman atau intimidasi dari tentara (yang kini telah dihilangkan fungsinya dalam kehidupan sipil, dan kepolisian telah terpisah dari kekuasaan mereka). Terbuka pula bagi warganegara untuk mendirikan partai-partai politik, yang pada pemilu tahun 1999, kita saksikan lebih dari 50-an partai bertarung memperebutkan kursi kekuasaan negeri ini.

Baca juga :  Rajin-Malas

Pada saat bersamaan, kita saksikan pula gesekan-gesekan sesama masyarakat sipil yang makin menguat. Gesekan berkelompok yang terorganisir, yang pada prakteknya membawa panji-panji ”kebenaran” berdasarkan keyakinan kelompoknya, yang mengabaikan ”kebenaran” dari keyakinan kelompok lain, seakan tidak terkendali.

Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) yang biasanya menjadi rambu-rambu bagi setiap gerak orang dan kelompok agar tidak memancing ”konflik”, pada saat ini menjadi bebas lepas tanpa beban dengan berbagai ”pembenaran” yang dinyatakan atas sikap, pikiran dan tindakan yang (telah) terjadi.

Baca juga :  Cantiknya Taman Itu

Penerima mandat untuk mengelola bangsa dan negara ini, tampaknya merasa tidak berdosa, dan mencari pula alasan-alasan  pembenar dari praktek ”pembiaran” yang dilakukan.

Kita sama-sama paham, bahwa korban-korban telah berjatuhan. Tidak sekedar luka-luka, tapi juga berakibat pada penghilangan nyawa. Dasar apa yang bisa membawa kita pada keyakinan bahwa hal itu dibenarkan?

Kita memang patut bersusah hati, seperti Ibu Pertiwi. Samar-samar lagu Koes plus yang biasanya membuat badan kita bergoyang, seakan tidak berarti lagi:

Buat apa susah
Buat apa susah
Lebih baik kita bergembira..” 

Yogyakarta, 27 Agustus 2012

Author

Respon (4)

  1. Hemmmmmmmmmmmmmm
    Mengoceh lagi: gesekan dan dinamika
    Pantaslah itu,al gesekannya panaskan energi positif 😀

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *