Warta  

Ketika Popularitas Bertemu Kontroversi: Figur Publik dan Bayang-Bayang Kritik

Di era digital ini, batas antara ketenaran dan kejatuhan semakin tipis. Figur publik tak lagi sekadar simbol prestasi, tapi juga representasi dari opini, kontroversi, dan kadang, kepentingan tertentu. Beberapa tokoh yang dulu dielu-elukan kini justru lebih dikenal karena kontroversi yang mereka timbulkan. Siapa saja mereka, dan isu apa yang membayangi nama mereka?

1. Refly Harun – Pakar Hukum atau Provokator Politik?

Refly Harun dikenal sebagai ahli hukum tata negara. Awalnya, ia dihormati karena analisis hukumnya yang objektif. Namun dalam beberapa tahun terakhir, citranya berubah sejak aktif sebagai YouTuber politik.

Kontroversi:

  • Pernyataan provokatif terhadap pemerintahan Jokowi, terutama menjelang dan sesudah Pilpres 2019.

  • Aktif tampil bersama tokoh-tokoh oposisi dan dinilai terlalu condong ke satu kubu politik.

  • Menyebut Pemilu 2024 “potensial curang”, tanpa disertai bukti yang kuat—mengundang kritik dari berbagai pihak.

  • Dituduh memakai narasi clickbait dan framing sepihak dalam kontennya untuk menaikkan popularitas di YouTube dengan isu Ijazah Palsu Jokowi.

Refly dinilai telah bergeser dari akademisi objektif menjadi pengulas politik partisan. Meski tetap memiliki pendukung, integritas keilmuannya mulai dipertanyakan.

2. Roy Suryo – Pakar Telematika yang Terjebak di Dunia Meme

Dulunya, Roy Suryo adalah pakar telematika yang sering dipanggil untuk menganalisis rekaman video dan foto kontroversial. Ia bahkan sempat menjabat sebagai Menpora di era SBY. Namun setelah pensiun dari jabatan, namanya justru sering muncul karena isu negatif.

Kontroversi:

  • Kasus unggahan meme patung stupa Borobudur dengan wajah Presiden Jokowi (2022). Roy Suryo dilaporkan karena dianggap menista agama Buddha. Ia akhirnya divonis 9 bulan penjara.

  • Kasus pengembalian barang inventaris negara, yaitu 3 unit barang dari Kemenpora yang tak kunjung dikembalikan setelah masa jabatannya berakhir.

  • Kerap mengomentari isu-isu agama dan sosial secara nyinyir di media sosial, termasuk isu akun Fufu Fafa dan ijazah palsu Jokowi.

Alih-alih menjadi jembatan ilmu dan teknologi, Roy kerap disorot karena konten digitalnya yang sensasional dan menyinggung.

3. Amien Rais – Dari Tokoh Reformasi ke Bapak Polarisasi?

Sebagai salah satu arsitek Reformasi 1998, Amien Rais pernah dianggap simbol harapan. Namun dalam dekade terakhir, ia lebih dikenal sebagai figur yang sering menyuarakan narasi antagonistik.

Kontroversi:

  • Pernyataan soal “Partai Allah vs Partai Setan” (2018), yang menuai kecaman karena membenturkan agama dalam politik.

  • Membentuk Partai Ummat setelah keluar dari PAN, dengan narasi keras anti-pemerintah.

  • Sering menyuarakan teori konspirasi dalam politik nasional—seperti elite global, oligarki penguasa, dan makar elite, yang tanpa dasar bukti kuat.

Amien Rais kini lebih sering dikenang bukan karena reformasinya, tetapi karena retorika politiknya yang membelah.

4. Habib Rizieq Shihab – Karisma Umat, Tapi Sarat Ujaran Tajam

Rizieq Shihab adalah pendiri Front Pembela Islam (FPI), organisasi yang dikenal dengan pendekatan hardline dalam menegakkan nilai-nilai Islam. Sosoknya karismatik bagi pendukungnya, namun mengintimidasi bagi sebagian lainnya.

Kontroversi:

  • Kasus kerumunan di Petamburan saat pandemi (2020), yang melanggar protokol kesehatan dan berujung penjara.

  • Ucapan-ucapan keras terhadap minoritas dan pihak yang berbeda pendapat, termasuk menyebut lawan politik dengan istilah kasar.

  • Kasus chat mesum yang viral tahun 2017, meski tidak sampai ke tahap pembuktian hukum karena ia keburu meninggalkan Indonesia.

Setelah dibubarkan, FPI digantikan oleh organisasi baru. Namun bayang-bayang kontroversi Rizieq masih terus menyertai.

5. Ferdinand Hutahaean – “Tuhanmu Lemah?” dan Ujaran yang Berujung Bui

Mantan politisi Partai Demokrat ini sebelumnya aktif sebagai buzzer politik. Namun cuitannya pada Januari 2022 menjadi bumerang besar.

Kontroversi:

  • Menulis “Tuhanmu lemah” di Twitter, yang langsung viral dan dinilai sebagai penistaan agama.

  • Dihukum 5 bulan penjara setelah dijerat pasal ujaran kebencian.

  • Meskipun ia mengklaim pernyataannya tidak ditujukan untuk siapa pun, publik sudah kadung murka.

Kasus ini menjadi bukti bagaimana opini pribadi di media sosial bisa berubah menjadi perkara hukum serius.

6. Rizal Ramli – Kritik Ekonomi, Personal Taste, dan Populisme

Sebagai mantan Menko Perekonomian dan tokoh ekonomi senior, Rizal Ramli sempat menjadi harapan banyak kalangan. Namun belakangan, ia lebih dikenal karena kritik tajam yang kadang dinilai tidak disertai solusi.

Kontroversi:

  • Kritik terhadap proyek IKN, menyebutnya sebagai bentuk penghamburan anggaran tanpa menawarkan alternatif.

  • Pernyataan keras terhadap menteri-menteri ekonomi yang dinilai sebagai “boneka korporasi”.

  • Kritik terhadap Presiden Jokowi yang menurutnya “pro pengusaha, bukan rakyat”.

Kritik Rizal sering dianggap benar secara substansi, tetapi kehilangan bobot karena terlalu emosional dan tanpa tawaran konstruktif.

Kesimpulan: Ketika Kata dan Kuasa Tak Lagi Seiring

Tokoh publik punya dua beban: tanggung jawab atas kata-katanya dan pengaruh dari tindakannya. Ketika dua hal itu tidak seiring, maka lahirlah krisis kepercayaan. Figur-figur yang pernah di atas, kini banyak yang dipertanyakan relevansinya. Beberapa memilih jalur populisme, yang lain terjebak di pusaran ego.

Popularitas bukan jaminan kebijaksanaan. Dan suara nyaring tak selalu berarti benar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *