Gaya  

Dinda

dindaAda apa dengan Dinda? Setelah baca-baca ternyata di jagat dunia maya sedang terjadi kehebohan akibat status seorang gadis remaja dengan akun bernama Dinda di  media sosial Path pada Rabu, 16 April 2014 yang mengungkapkan ketidak-senangannya untuk memenuhi keinginan seorang ibu hamil yang meminta tempat duduknya di kereta.

Ibu hamil yang tiba-tiba meminta tempat duduknya dianggap hal yang menyusahkan. Karena Dinda sendiri demi untuk mendapatkan tempat duduk di kereta harus rela berangkat pagi-pagi. Sementara ibu hamil yang meminta tempat duduknya dianggap memanfaatkan statusnya sebagai ibu hamil untuk mendapatkan perlakuan istimewa.

Seperti biasa selalu ada pro dan kontra. Dimana tetap ada yang mendukung sikap Dinda, sebaliknya tidak sedikit yang mengkritik sampai menghujat atas sikap Dinda.

Soal ada yang memanfaatkan status untuk mendapatkan keistimewaan memang tak dapat ditampik. Tetapi sikap Dinda yang mengungkapkan kekesalannya di sosial media pun memang tak  berkesan  baik. Yang berkesan adalah pada akhirnya Dinda menyadari kekeliruan atas sikapnya tersebut.

Dari kehebohan status Dinda ini, minimal ada tiga nilai yang bisa menjadi pembelajaran bagi saya sendiri. Yakni yang pertama adalah perlu berhati-hati dalam menulis status di media sosial sebagai tanggung jawab sosial. Kedua, sikap pengertian atas apa yang dilakukan seseorang. Bukan hanya bisa mencaci atau menghujat kesalahan orang lain. Ketiga, memiliki kelembutan hati untuk mengakui kesalahan.

 Menulis Status di  Media Sosial

Kita memang berhak bebas  menulis apa pun, kapan pun dan di mana pun yang ada dalam pikiran kita. Khususnya pada jaman sekarang, dimana kita bisa dengan bebas setiap saat bisa  mengungkapkan isi hati dan pikiran di  media sosial tanpa ada perasaan takut dengan berlindung di balik sebuah akun.

Tetapi yang perlu kita sadari adalah apa pun yang kita tulis di media sosial, kapan pun dan di mana pun dapat dibaca oleh orang lain. Jadi dalam hal ini ada tanggung jawab sosial yang tak dapat kita hindari. Mungkin ini yang sering kita lupakan, sehingga menggunakan kebebasan yang ada dengan menulis apa saja tanpa memikirkan ada pihak yang akan tersinggung atau tersakiti.

Baca juga :  Melawan Prampok Berdasi

Kalau pun kita menyadari, mungkin kita akan berkilah,”Bodoh amat. yang penting saya sudah mengungkapkan isi hati dan pikiran. Urusan ada yang tersinggung atau sakit hati itu bukan urusan saya. Salahnya sendiri.” Pada dasarnya kita memang egois. Itu sebabnya kita perlu belajar yang namanya berempati, agar keegoisan kita tidak semakin merajalela.

Sebagai manusia yang masih ada nafsu yang belum terkendali sepenuhnya, tentu kita bisa kesal dan marah atas apa yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari berkenaan dengan hubungan sosial kita. Namun tentu tidak semuanya harus diungkapkan dalam setiap status yang kita tulis di sosial media. Yang perlu menjadi pertimbangannya bermanfaat. Adakah manfaatnya kita menuliskannya?

 Belajar Pengertian Bukan Sibuk Mencaci

Kita bisa spontan marah dan menghujat atas sikap Dinda yang kita anggap tidak berempati pada ibu hamil dengan komentarnya. Namun sebenarnya andaikan kita sendiri bisa berempati, tentu kita akan belajar mengerti atas pilihan sikap Dinda yang merasa tidak harus memberikan tempat duduknya kepada seorang ibu hamil. Sebab Dinda pun demi untuk mendapatkan hak untuk duduk sudah melalui sebuah usaha. Apa salahnya kemudian ia berpikir, kalau mau dapat kenyamanan berusaha dong.

Sikap pengertian itu, bukan berarti kita mendukung apa yang dilakukan Dinda. Tapi memahami sikapnya. Mengapa sampai ia tidak mau memberikan tempat duduknya dan menganggap ibu hamil itu menyusahkan? Apalagi dengan statusnya yang masih remaja. Bagaimana andai kita berada dalam posisinya? Walau memang disayangkan dengan kata-katanya yang tertulis.

Sepertinya sudah umum terjadi pada saya atau di antara kita. Ketika kita menganggap orang lain melakukan kesalahan, ternyata malah kita melakukan kesalahan yang sama. Secara moral dan etika, komentar Dinda memang tak dapat diterima. Kita anggap tidak berperasaan atau sudah kehilangan empati pada seorang ibu hamil.

Baca juga :  Keseimbangan Pada Titian

Lucunya, tidak sedikit pula yang menyikapinya dengan tidak berperasaan, tidak beretika atau tak berempati dengan membalas menghujat dengan kata-kata yang menyakitkan. Walau ada pula dengan berusaha mengingatkan dan menasehati dengan bijak.

Begitulah, ketika kita merasa pada pihak yang paling benar dan merasa berhak untuk menyalahkan dan menghakimi, justru celakanya kita jatuh dalam kesalahan yang lebih parah. Kok menuliskan hal  ini rasanya seperti sedang menulis tentang diri sendiri?

Memiliki Kelembutan Hati untuk Mengakui Kesalahan

Satu hal yang indah adalah kelembutan hati yang masih dimiliki seorang Dinda yang pada akhirnya berani mengakui kesalahan dan meminta maaf setelah ada yang menasehati. Meminta maaf, satu hal yang sederhana, cuma sulit untuk dinyatakan.Tapi ternyata Dinda masih memiliki etika dan empati terhadap nasehat yang diberikan. Tidak cuek atau antipati.

Seperti yang di muat pada berita Kompas.com, Kamis (17/04/2014) Dinda menulis permintaan maaf di statusnya: “maaf mas yogi dan mbak rani saya ingin minta maaf sekali lagi atas perkataan yang tidak berkenan.. memang saya khilaf sekali.. dan ini semua menjadi pelajaran dari hidup saya.. saya berharap mbak dan mas bias memafkan saya begitu juga dengan org diluar sanaa.. sekali lg saya minta maaff yaa mbak dan mas.”

Dinda yang dianggap tak beretika dan tak punya perasaan pada akhirnya berani meminta maaf secara terbuka. Apakah kita yang merasa punya etika dan empati masih ada kelembutan hati seperti yang dimiliki Dinda dengan meminta maaf padanya?

Afirmasi:

Tuhan, ampunilah kesalahan kami yang justru lebih sibuk untuk mengurusi kesalahan orang lain walau setitik, sehingga lupa akan kesalahan diri sendiri yang masih setumpuk. Semoga kami lebih bisa belajar dari nilai kesalahan orang lain daripada sibuk memberikan penilaian yang justru akan membuat kami semakin jatuh dalam kesalahan. Semoga juga kami masih memiliki kelembutan hati untuk dapat memaafkan dan mengakui kesalahan dengan meminta maaf.

katedrarajawen@refleksihatimenerangid

Respon (3)

  1. ternyata Dinda sudah minta maaf? saya kira dia akan terus bertahan dengan pendapatnya. saya pribadi pasti nggak tega kalau lihat ada ibu hamil atau ada yg gendong anak kecil di busway, secara saya langganan busway pulang pergi ke sekolah, hehe 😀

    1. Ya, tentu setelah menyadari kesalahannya, andaikan keluhannya tidak diposting sebenarnya tak akan jadi masalah hehhe..salaman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *