Saya punya teman baik. The thing is, saya kenal dia ini sejak SD. So, saya tahu penampilannya dalam seragam merah putih. Maksudnya dalam celana pendek merah dan hem putih ala bocah SD. Dan dia tahu penampilan culun saya dengan rambut pendek potong cowo, kaus kemeja, topi pet dan sepeda mini jadul warna hitam. Okay, saya sering berpenampilan tomboy ketika kecil. Anggapan saya praktis, nggak banyak buang waktu dandan dan ‘aman’ keluyuran kemana – mana karena sering dikira anak lelaki. Kami berteman karena sifat kami sedikit cocok, sesama kutu buku!
Lama saya nggak ketemu sobat saya ini. Lama banget, terakhir ketemu lulus SMA. Hobby-nya sama dengan saya, baca buku! Dan saya kenal dengan dia karena ibunya membuka perpustakaan buku yang menyenangkan di kota kecil kami. Banyak anak kecil datang kesitu dan meminjam buku. Saya termasuk salah satu ‘pelanggan’. Setelah remaja dan dewasa, kami agak terpisah karena gank dolan kami berbeda. Saya dolan dengan gank biru dan dia dolan dengan gank merah.
Tak lama kemudian kami jumpa kembali dalam acara reuni kecil yang diselenggarakan sekelompok teman sekolah. Karena berangkat dari hobby membaca otomatis kami setelah dewasa juga memiliki hobby menulis yang sama. Banyak hal seputar tulisan, cara menulis dan berbagai pemberitaan saya diskusikan dengan teman ini. Pokoknya segala ajang tulis menulis saya bicarakan dengannya. Tanggapannya selalu baik dan sopan, banyak support dan banyak memberi kritik membangun. Tidak banyak teman lain dari kumpulan sekolah kami yang suka menulis. Mendiskusikan tentang tulisan tidak mudah, kadang membaca saja malas.
Dalam banyak hal, selalu saya yang ‘ceriwis’ bertanya ini dan itu. Mendiskusikan ini dan itu, bahkan kadang membual ini dan itu. Percakapan selalu dimonopoli oleh saya dan tidak henti – hentinya saya memanfaatkan ‘jasa’nya sebagai editor bayangan. Diantara berbagai kesibukannya bekerja di luar pulau, menjadi kepala rumah tangga, mengurus kantor, ia selalu berusaha menjawab aneka pertanyaan saya. Bahkan ketika sedang tidak enak badan, ia memaksakan diri membaca tulisan saya.
Suatu ketika saya mengirim pesan, bertanya mengapa ia belum juga merespon pertanyaan saya tentang sebuah tulisan. Ia meminta maaf karena sedang sibuk, seorang temannya mengundurkan diri, ia harus ambil alih tambahan pekerjaan, sambungan internet lemot. Lalu dengan tenang ia mengabarkan bahwa ada kemungkinan bulan depan perusahaan tempatnya bernaung akan gulung tikar. Ia akan pindah ke anak cabang perusahaan atau bisa jadi melamar kerja ke tempat lain.
Semua itu diucapkannya dengan datar, seolah – olah ‘Its okay, langit tidak akan runtuh menimpa saya.’ Saya yang mendengarnya sedikit terpana. Ia memiliki istri, dua anak dan kehidupan yang harus dijalani kedepan. Kadang kita tak sadar bahwa sedemikian fokusnya kita pada diri sendiri, perihal orang lain seolah kita abaikan. Ambisi lalu menjejali otak dan meniadakan perasaan. Sementara teman saya bergulat dengan pemikiran tentang nasib pekerjaannya, setiap hari saya hanya bertanya, ‘Tulisan saya bagus tidak?’ Benar – benar momen yang menohok. Saya jadi berpikir, bersikap egois itu seringkali memang tanpa sadar!
kalau sadar
yah gak jadi egois dong
hahaha
gagal…
mbak JW saya kirim pesan, tolong di baca http://ketikketik.com/inbox
ok..
Gak sadar karena sudah jadi perilaku sehingga dianggap sudah benar hehhe
sering terjadii..