Opini  

Hujan Antara Berkah dan Kutukan

Kota Makassar, kala hujan tiba, jalan menjadi sungai sementara, seolah sebuah ‘tradisi rutin’ dari pemkot atas siklus hidrologi yang keseimbangan alamnya tak terjaga oleh lenyapnya daerah resapan air. Air mengalir, tak kenal batas, menggurat kisah di tiap ruas, tentang bahaya banjir. Mengapa ini terjadi setiap musim hujan? Padahal puisi Sapardi Djoko Damono: “Hujan Bulan Juni” Gramedia, Jakarta (1994). Hujan bulan Juni adalah ilustrasi bersahaja akan keindahan dan keajaiban turunnya hujan, dideskripsikan simbol kesejukan dan kedamaian batin.
Hujan, fenomena alam, tak terpisahkan dari kehidupan makhluk. Dalam banyak budaya, hujan kerap dianggap lambang harapan hidup. Namun, hujan juga sanggup membawa murka, seperti banjir dan risiko penyakit fisik dan mental. Maknanya, hujan memiliki sisi gelap, data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kenaikan frekuensi banjir di Indonesia, meningkat 30% dalam sepuluh tahun terakhir.

Hujan sebagai berkah

Studi antropologi mengkaji masyarakat, budaya, dan fenomena hujan. Berbagai ritual keagamaan dilakukan pelbagai agama untuk mensyukuri turunnya hujan dan dipahami sebagai respons budaya terhadap fenomena alam yang sangat vital bagi kehidupan. Umat Islam khidmat berdoa, sesuai hadis Rasulullah SAW sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah. Doa umat Kristen dengan liturgi, bersyukur atas berkat hujan, dengan nyanyian pujian. Umat Hindu melakukan puja kepada Dewa Hujan (Varuna), menandakan rasa terima kasih kepada dewa-dewa. Umat Buddha melakukan meditasi dan doa, menyampaikan apresiasi kepada alam dan Buddha, atas berkah hujan yang diberikan alam.

Antropologi hujan membantu kita memahami pengaruh hujan terhadap tradisi agama dan budaya, serta bagaimana masyarakat merespons dan menghargai anugerah alam. Melalui upacara dan tradisi, solidaritas religius diperkuat dalam menghadapi tantangan lingkungan, mengungkapkan rasa syukur atas turunnya hujan (Arjun Appadurai, 1986).

Hujan dalam psikologi dan perspektif kultural

Hujan juga memengaruhi kognitif manusia! Saat hujan turun, banyak orang merasa sedih. Hujan dapat berfungsi sebagai simbol kepiluan dan kehilangan. Hujan dapat berdampak pada emosi dan kesehatan mental seorang, menurut penelitian Anderson (2019) menemukan bahwa penduduk yang tinggal di daerah curah hujan tinggi cenderung linier dengan tingkat depresi yang lebih tinggi pula, dibandingkan dengan populasi yang tinggal di daerah curah hujan rendah/kering. Penelitian Murray et al. (2021), menemukan bahwa hujan dengan kontinuitas tinggi dapat dikaitkan dengan agregat kecemasan dan depresi. Saat hujan, manusia merasa lebih tertekan dan tidak tertarik untuk beraktivitas di luar ruangan, mengindikasikan hujan dapat mempengaruhi mood dan produktivitas.

Baca juga :  Dunia Akan Tersenyum

Dalam situasi seperti ini, sangat penting untuk memahami dampak hujan pada kesehatan mental. Hujan mungkin membuat beberapa orang merasa tenang, tetapi bagi yang lain, itu bisa menyebabkan problem emosional. Kesadaran akan pengaruh ini sangat penting untuk menjaga kesehatan mental masyarakat. Dari perspektif psikologi, hujan berpengaruh pada kesehatan rohaniah. Curah hujan yang tinggi dapat berhubungan dengan peningkatan tingkat rasa duka dan keresahan. Ini menggarisbawahi pentingnya memahami konsekuensi emosional yang ditimbulkan oleh cuaca.

Hujan memiliki makna yang kaya dan beragam dalam perspektif kultural. Secara luas, hujan sering dianggap sebagai penanda kehidupan, kesuburan, dan pembaruan. Dalam banyak tradisi, hujan dihubungkan dengan siklus pertanian, di mana curah hujan yang baik dapat menentukan keberhasilan panen dan kelangsungan hidup khalayak.
Dalam konteks budaya, banyak mitos dan legenda yang mengaitkan hujan dengan dewa atau entitas spiritual. Misalnya, dalam budaya Jepang, hujan sering dipandang sebagai simbol keindahan dan melankolik, terwakili dalam puisi haiku yang menggambarkan suasana hujan dengan penuh kepekaan. Di India, puisi dan festival, seperti Teej, menggambarkan hujan monsun sebagai berkah dan representasi kehidupan. Di Indonesia, hujan dikorelasikan dengan penguatan nilai-nilai kultural yang mendalam terkait semesta alam.

Hujan sebagai kutukan

Perubahan iklim juga memengaruhi jumlah hujan di seluruh dunia. Semakin sering terjadi fenomena cuaca ekstrem seperti hujan lebat dan kekeringan. Studi oleh Jones dan Lee (2021) menunjukkan bahwa pemanasan global dapat mengubah pola curah hujan secara signifikan, yang berdampak pada ketersediaan air dan ketahanan pangan. Sumber daya pengetahuan dan keterampilan diperlukan untuk beradaptasi, masyarakat yang rentan sering kali menjadi korban utama dari perubahan tentang bagaimana hujan berdampak pada berbagai sisi kehidupan manusia, dari pertanian hingga polusi udara dan bencana alam seperti pada jurnal Jeroen Aert et al. (2017). “Flood Risk Management in Urban Areas: A Case Study of Jakarta.”

Baca juga :  Jangan Kotori Sumber Air Minummu

Selain itu, kita mesti memahami teori ekologi politik (political ecology). Teori ini menggabungkan analisis ekologi dan politik untuk memahami bagaimana kekuasaan dan kebijakan memengaruhi hubungan manusia dengan lingkungan. Ilmuan seperti Eric Wolf (1969) dan Paul Robbins (2004) menyoroti bahwa banjir sering merupakan hasil dari ketimpangan sosial, konflik politik, dan eksploitasi sumber daya oleh kelompok yang berkuasa dengan pembangunan kota yang mengabaikan masyarakat miskin di bantaran sungai meningkatkan risiko banjir. Dalam analisis sosial dan lingkungan, teori ekologi politik muncul sebagai cara untuk menggabungkan ilmu sosial, humaniora dan ekologi. Teori ini berfokus pada hubungan kekuasaan yang memengaruhi akses dan eksploitasi sumber daya alam.

Hujan, dengan segala kompleksitasnya, mengajarkan kita untuk menghargai sumber daya alam, menghormati area resapan air sangat penting, guna menghindari potensi banjir. Kreatifitas warga seperti pengecekan secara mandiri akan sampah-sampah penghambat aliran air hujan sangat diperlukan untuk melindungi masyarakat dari risiko bencana.

Hujan memiliki dualitas sebagai berkah atau kutukan? Penting bagi kita untuk menjawab, menyelami dan menghargai peran hujan dalam ekosistem serta efeknya terhadap kehidupan manusia. Dari antropologi, hujan menjadi denyut kehidupan dan detak harapan. Hujan, seringkali menghantar kesejukan, tetapi juga dapat memicu malapetaka. Kita dapat mengubah perspektif kita ketika kita menghadapi ancaman dengan menggunakan pendekatan yang akurat, ilmiah dan semangat kerja sama didasarkan pada nilai-nilai kultural. Hujan tidak seharusnya dipandang sebagai kutukan yang menakutkan.

Setiap tetes air hujan membawa prospek untuk kemajuan, kehidupan baru, dan harapan. Hujan menjadi ikon harmoni antara manusia dan alam, mengingatkan kita akan pentingnya saling mendukung dalam menjaga lingkungan. Kita merayakan kehadiran hujan sebagai bagian dari perjalanan hidup yang indah, menjadikannya anugerah yang memperkaya pengalaman. Hujan ini akan membuat hidup lebih baik dan humanistik, menghidupkan masa depan yang penuh harapan dalam pelukan alam yang penuh kasih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *