Dalam suatu perdebatan dengan seorang sahabat, saya mempertanyakan sikapnya. Disatu sisi ia mendukung homoseksualitas, namun disisi lain ia mencurigai perempuan dengan celana pendek dan perilaku gaya hidup bebas. Saya bukanlah seorang yang sangat mengerti tentang kaidah agama, kultur sosial dan moralitas. Bagi saya hal – hal tersebut sangatlah sulit untuk dipahami, maklum kemampuan saya terbatas. Saya berkaca diri bahwa sayalah yang ‘kurang cerdas’ dalam melihat fenomena – fenomena arus liar di kehidupan. Namun setidaknya saya yakin, sebagai suatu pribadi saya cukup konsisten. Saya belajar bersikap teguh.
Konsisten ini lagi – lagi dalam konteks terbatas ala saya yang pengetahuannya ‘cethek.’ Konsistensi bagi saya adalah ‘ajeg.’ Tetap, lurus dan terarah. Bagi saya sesuatu yang tidak berubah – ubah atau membolak – balik lebih gampang diikuti jejaknya. Kemudian jika ada kesalahan juga lebih mudah untuk langsung terlihat dan dikoreksi. Kalau kita tidak menetap dalam berpendapat, menjadi membingungkan dan bagi saya itu adalah situasi ‘yang penting gue selamat’ atau ‘yang penting gue untung.’ Tidak lagi menyorot pada substansi dasar yaitu benar atau salah? Jujur atau bohong?
Konsisten menurut saya juga berbeda dengan keras kepala. Konsistensi harus dibarengi dengan pengetahuan yang mendalam dan keterbukaan hati. Bisa jadi ketika menjadi seorang yang konsisten kita akan salah persepsi dan harus mengakui. Sangat banyak orang yang mengacungkan jari telunjuk dan berkata ‘saya benar.’ Tetapi sedikit yang mengangkat tangan dan mengaku ‘saya salah.’ Sejak kecil saya cukup keras kepala, tetapi semakin dewasa, saya usahakan agar ke-keraskepala-an saya memiliki dasar kuat. Saya tidak akan ‘ngeyel’ lagi jika seseorang atau sesuatu menunjukkan teori yang tepat tentang salah dan benar. Khususnya dengan acuan dasar kitab – kitab agama, psikologi, filsafat dan hukum. Keempat latar belakang bidang ilmu itu adalah empat jalinan temali yang mampu menguatkan kebenaran dan menguakkan kesalahan.
Jika seseorang berkata benar, menjadi sangat lucu ketika ditanya alasannya dan ia menjawab, “Because I said so!” Atau jika diterjemahkan dengan gaya bebas, “Kalau gue bilang bener, ya pasti bener lah!” Jika bicara pada anak berusia lima tahun mungkin ia akan menurut pada dalil “Because I said so!” Namun jika hendak berargumen dengan orang dewasa hal itu akan menjadi adegan humor. Memangnya siapa Anda? “Who are you? …God?”
Begitupun dengan orang yang memiliki pengetahuan luas lalu merasa dengan mudah harus mendikte pada orang lain, “Because I said so!” Dalam hidup ini tidak ada orang yang sungguh – sungguh pintar dan berhenti belajar. Orang yang pandai akan berpikir bahwa diatas langit selalu ada lapisan langit berikutnya. Maka dasar – dasar pembenaran tidak boleh dikenakan dengan semena – mena. Apalagi dua orang dengan latar edukasi yang berbeda diadukan pada pertarungan idealisme. Ini seperti kisah klasik David dan Goliath. Pemenangnya bisa menjadi kejutan bagi para penonton.
Konsistensi bagi saya adalah bagian dari proses belajar, membuat diri menjadi pandai. Jika saya benar, Alhamdulilah! Artinya ilmu dan teori yang saya serap selama ini ada manfaatnya. Jika saya salah, Thank God! Jadi saya tahu bahwa saya telah melakukan kesalahan dan kelak dimasa depan saya akan melakukan yang benar. Sounds like Pak MT, but this is true. Bagaimana kita bisa menebak dan bekerja sama dengan orang yang banyak bersikap ‘cilukkkbaaa..’? Seolah hidup ini jika menakutkan dihindari dengan diam bersembunyi dan jika menyenangkan dihadapi dengan narsis dan selfie. Cmon? Kapan kita akan kian dewasa menyikapi hidup?
Ada masanya saya belia. Ketika itu konsistensi saya berbentuk keras kepala seenak udel. Ketika terbukti salah, saya tetap ‘ngeyel’ dan memaksakan kehendak seolah sayalah Tuhan. Tentu yang rugi adalah diri saya sendiri. Orang – orang lain menghindar, yang tak suka bahkan mencibir, “Huh, maunya menang sendiri!” Di lain waktu saya mudah menghakimi dan menilai orang dari penampilan luarnya saja lalu membuat asumsi – asumsi yang kadangkala sesungguhnya tak benar. Hanya karena seorang wanita perokok lalu dianggap penganut free sex pula? Hanya karena seorang lelaki bertattoo lalu dianggap ex-residivis yang menakutkan?
Ada kesempatan kedua dalam hidup ini. Berikan pada mereka yang memang membutuhkannya. Dan konsistenlah jika Anda mencintai Tuhan, kebenaran dan kasih sayang. Jangan diubah – ubah. Konsisten dengan urutan hidup enak, selamat dan tidak kekurangan? Atau konsisten dengan urutan duit, nepotisme dan bergaya hura – hura? Bagi saya inkonsistensi sangatlah menakutkan. Hari ini bilang cinta, esok lusa bisa jadi benci dan menghujat dengan semena – mena. Otomatis energi negatif akan muncul jika berhadapan atau bersinggungan dengan inkonsistensi semacam ini. Setidaknya konsistenlah hingga terbukti bahwa apa yang kita anut tidak benar dan harus diperbaiki. Anda adalah sebuah entitas utuh dan bukan boneka jika Anda mampu terus konsisten jadi diri sendiri dan tidak mudah membeo pada pendapat orang lain.
foto: vinaire.me
Sampai saat ini saya tetap konsisten dengan kebenaran bahwa semua kebenaran yang bisa ditulis atau dikatakan bukanlah kebenaran yang sesungguhnya. Buktinya bahkan kebenaran dalam kitab suci pun masih biash diperdebatan dan dipertanyakan. Benar menurut saya belum tentu benar menurut yang lain.
Bener Bung Kat..tapi artinya akan selalu ada suatu nilai – nilai kebenaran yg universal karena sebagian besar orang yang ‘sependapat’ biasanya akan merapat pada satu sisi yang sama…ya ngga? Mengikut kata teman saya… yg vibrasi nya nggak pas ngga akan nyambung…
kebenaran belum tentu benar di mata orang lain, opini kebenaran hanya di lihat dari persepsi orang masing-masing.
Bung Jose, foto anda belum bisa tampil ? Coba klik http://ketikketik.com/rubah-profil . Fotonya diganti dengan yang berukuran 100 x 100 px, format JPG,GIF atau PNG
Thanks mampirnya..iya jawaban saya senada dengan jawaban pada Bung Kate diatas..