Peserta No: 2
Kaki-kaki kecil bertelanjang dengan lincah berlari memburai pasir pantai. Suara berisik berasal dari mulut-mulut mungil itu seolah mengalahkan segerombolan burung emprit . Sama sekali tak nampak paras prihatin dari wajah polos itu, seperti yang nampak pada wajah orang tua mereka. Ya.. di Perkampungan miskin ini mereka harus menerima keadaan seadanya.
Kampung nelayan yang berbau amis hawa laut, terkadang lebih dari sekedar amis. Bagi mereka itu adalah parfum alami yang harus mereka hirup dan menjadi bagian dari perjalanan kehidupan mereka. Kaum lelaki mayoritas berpenghasilan dengan menangkap ikan, walau kadang hasilnya tidak dapat dikatakan cukup untuk menghidupi anak dan istrinya. Sekali lagi, itulah kehidupan! Jika terpaksa tak cukup, ya…dicukup-cukupkan!
Di antara anak-anak itu ada yang bernama ‘ Ipung’ anak kepala desa dimana aku menumpang tidur. Ipung berumur lebih kurang 12 tahun, seorang anak yang cerdas, berkulit legam, entah terbakar matahari atau memang begitulah kulit aslinya. Ipung bersekolah di satu-satunya sekolah negeri di perkampungan itu. Aku menyukai anak itu, anak yang ringan tangan dan mempunyai tekad dan cita-cita yang mulia.
“Kalau aku besar nanti, aku ingin membangun rumah sakit di daerah ini, Kak. Aku tak mau kehilangan orang yang kucintai karena tak ada dokter di perkampungan kita ini. Sebulan lalu, Sari harus kehilangan ibunya, Kak. Entah mengapa tiba-tiba ibunya Sari batuk-batuk mengeluarkan darah, tak lama kemudian meninggal dunia” ceritanya ketika aku bertanya apa cita-citanya. Jawaban Ipung membuatku berpikir, apakah daerah pinggiran ini tak terjamah oleh pemerintah daerah hingga keadaanya memprihatinkan seperti ini?
Pelayanan kesehatan sangat minim, fasilitas sekolah dengan alas semen ala kadarnya yang pecah sana sini, beratap seng sebagian besar bocor, hanya sekedarnya. Dengan kondisi demikian akankah cita-cita Ipung terwujud? Sebagai wartawan yang ditugaskan meliput daerah ini aku bertekad untuk menyampaikan apa yang aku saksikan di sini, diketahui oleh yang berkompeten. Aku akan membuat berita yang sekiranya mampu menggugah instansi berwenang, atau para donatur yang masih menaruh kepedulian , mengetuk nurani mereka untuk berbagi dengan saudara mereka yang kurang beruntung seperti Ipung dan sahabat-sahabatnya.
“Aku cukup bersyukur walaupun hidup seperti ini ,lihat saja pengemis di jalanan, kondisi mereka jauh lebih sengsara dari aku, Kak. Setidaknya aku masih punya bapak dan ibu, juga punya rumah walaupun kurang layak. Tak terlalu basah saat hujan, juga tidak terlalu menyengat kala matahari memancarkan sinarnya” ujar Ipung di waktu lain saat kami duduk di atas batu suatu sore. Rasa haru menelisik hatiku, mengiris membusai perih di mata. Dalam keaadaan seperti ini, Ipung masih mengucapkan syukur atas apa yang diterimanya. Wajah polosnya menengadah membuatku tak tahan mengacak rambut ikalnya.
“Ipung anak baik, belajarlah dengan tekun agar mimpimu menjadi kenyataan. Semakin sulit menggapainya akan semakin berarti bagimu. Teriakan sekeras-kerasnya “Dan mimpiku bukan puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi” Niscaya dengan tekad bulatmu, tentunya dibarengi dengan doa kepada Yang Maha Pemurah tak mustahil semua yang kau inginkan akan terwujud. Buatlah warga kampung bangga memiliki anak sehebat engkau, wahai pahlawan kecil” ujarku memberi semangat pada sahabat kecilku, seraya menepuk pelan pundaknya.
Kala malam tiba, terkadang angin bertiup lembut menyelisik di sela-sela dinding anyaman bambu, tak ada dinding batubata dan semen melapisinya. Membuai wajah-wajah kelelahan setelah seharian bekerja keras, menghantar mereka ke ambang mimpi yang terkadang menyenangkan namun tak jarang menyeramkan. Dan ketika sang surya malu-malu menyapa permukaan bumi, kembali mereka menjejakan kaki-kaki kokohnya di atas bulir-bulir pasir di sepanjang pantai. Berteriak saling menyapa ,memulai aktifitas seperti biasanya, sebagian mereka merajut kembali jala-jala yang sobek.
Dari jendela, tepatnya lubang angin aku mengintip rutinitas penduduk, aku tahu Ipung berdiri di belakangku tanpa berani menyapa. Kuhentikan pandanganku dan menoleh ke arahnya. Matanya nanar menatap tas ransel yang kuletakan di samping dipan tempat tidurku. Dari pandangannya kutahu ada sesuatu yang ingin dikatakannya.
“Ada apa, Pung? Sepertinya kau ingin menanyakan sesuatu?” ujarku
“Emmmm….Kak, sore ini jadi balik ke kota? Apakah tidak bisa menunda satu atau dua hari lagi?” tanyanya takut-takut.
Sore ini aku harus kembali dan meninggalkan Ipung, sahabat kecilku. Usai sudah tugasku di sini. Kulihat Ipung tak beranjak jauh dari sisiku sejak aku mengemas barang-barang bawaanku. Entah mengapa aku merasa berat meninggalkan Ipung, sahabat baru yang telah menemaniku selama hampir dua minggu. Aku mengambil sesuatu dari dalam tas ranselku, dan memberikannya kepadanya.
“Untukmu, ambillah!” aku mengangsur beberapa buku yang kuanggap berguna bagi Ipung untuk membangkitkan semangatnya. Buku-buku itu selalu kubawa kemanapun aku bertugas, sebab buku itulah, aku bangkit dari keterpurukanku karena menilai diri tak punya kemampuan. Buku motivasi yang diberikan oleh seorang kakek kala menemukanku menangis karena gagal memenuhi keinginan bapak agar aku menjadi kebanggaannya.
“Buku tentang apa ini, Kak?” Tanyanya dengan heran
“Bacalah, semoga nanti akan berguna bagimu” jawabku sambil meneruskan memasukan peralatanku yang lain dalam tas.
”Nanti jika kau tak membutuhkannya lagi, jangan kau buang. Simpanlah! Semoga buku itu berguna untuk orang lain” lanjutku.
Kulihat wajah Ipung sumringah mendapat hadiah dariku, walau sangat kentara kebingungan membias di wajahnya yang polos.
*****
12 Tahun kemudian,
Kembali aku menginjak kakiku di perkampungan nelayan yang dulu aku pernah menjadi bagiannya walau hanya dua minggu. Teringat aku akan sahabat kecilku ‘Ipung’ dengan rambut ikalnya. Sudah seperti apa dia sekarang?
12 tahun sudah aku meninggalkan kota tempatku bertugas kala itu, karena urusan yang sangat urgent aku terpaksa meninggalkan kotaku untuk memenuhi permintaan bapak yang sudah tua. Menggantikannya meneruskan usaha keluarga dan otomatis meninggal profesiku sebagai wartawan. Namun sebelumnya aku telah menyelesaikan tugasku dan memenuhi janjiku pada Ipung untuk membantunya menyebarkan foto-foto perkampungan itu, juga mengirimkan surat ke dinas kesehatan untuk meninjau lokasi tersebut.
Dua hari yang lalu, aku memenuhi undangan salah satu sahabatku sesama wartawan untuk mengahadiri peresmian sebuah Rumah Sakit. Bersamanya juga aku menuju lokasi kenanganku. Sekarang aku telah duduk di deretan kursi paling depan, sementara sahabatku telah siap pula dengan tustelnya.
Entah berapa lama aku terbuai dengan ingatan masa lalu. Dulu, di atas tanah rumah sakit ini adalah rumah penduduk yang sebagian terendam air laut kala pasang. Aku tersadar kala sebuah nama disebut saat diminta untuk memberikan sambutan atas peresmian rumah sakit itu. “Kepada pimpinan Rumah Sakit Harapan Asih, Bapak Ipung, kami persilakan memberikan sambutannya”.
Aku menatap seorang pemuda dengan langkah tegap penuh percaya diri menuju podium menyampaikan kata sambutannya. Tak beranjak mataku menatapnya, dan …depppp , mata itupun menatapku seakan terkesima, menyipit sedikit, kemudian menebarkan senyum kecil pertanda ia mengenaliku. Kubalas senyumnya dengan mengacungkan kedua jempolku ke arahnya.
“Ahhhh…. Ipung, benarkan? Mimpimu Bukan Puing, kau telah mampu mewujudkan mimpimu menjadi kenyataan. Kau telah berhasil membangun mimpi di atas mimpi. Aku bangga padamu, sahabat kecilku” Bisikku kala berjabat tangan memberikan selamat padanya.
*****
“Semua orang adalah pemimpi. Mereka melihat segalanya bagaikan kabut lembayung pada musim semi, atau sebagai api yang membakar pada malam musim dingin. Beberapa dari kita membiarkan suatu impian mati, namun yang lain memupuk dan melindunginya, merawatnya dalam hari-hari buruk hingga membawanya ke sinar matahari dan juga cahaya yang selalu menghampiri mereka yang selalu berharap impiannya akan menjadi nyata”
Woodrow Wilson
Desa Rangkat adalah komunitas yang terbentuk berdasarkan kesamaan minat dalam dunia tulis menulis fiksi. Jika berkenan silahkan berkunjung, berkenalan, dan bermain peran dan fiksi bersama kami di Desa Rangkat, klik logo kami.
Horeee vote Kim…..:)
jangan takut bermimpi,semua akan indah pada waktunya….;)
Terima kasih Ranti sayang, hayoooo… buruan nulis:)
Semangat Ipung 🙂
Asih, semangat juga buatmu 🙂
Semakin sulit menggapainya akan semakin berarti bagimu…keren ci kim
Mas Christian Dari Timor, terima kasih telah sempetin baca.
Mana nih setorannya?
Woowww menyentuuh ciciiii……
Jingga, terima kasih.
Woowww menyentuuh ciciiii……
mimpimu jangan cuma disentuh, Jingga..
tapi digapai..
hayo setorrrrr…
Tuh Jingga, dengerin dan simak petuah dari Ketua Padepokan Gunung Naras.
Gapai mimpimu, gerakan jarimu untuk mulai mengukir kata dan selanjutnya menjadi kalimat-kalimat indah.:)
salam kenal Ipung
bukan Kim iFoeng yah
wkwkwk
Hahahahaha… salam balik dari Ipung, Pak Doz.
Terima kasih ya 🙂
Inspiring..Cici Kim.
Bunda Yety, terima kasih telah mampir
Setorannya Bund…?Di tunggu ya….:)
Nahhh, ini neh keahlian Cicih…
Pesan moral dalam fiksinya selalu nyampe.
Makasih, cih. Suerrr daku jadi terinspirasi.
Begitu banyak mimpi dan impian2ku, namun kalo gak dibarengi dengan usaha kayaknya mimpi2ku selamanya hanya akan menjadi mimpi.
Mari menggapai mimpi cih, di sana…. di padepokan.. hehehehhe
Mas Hans, terima kasih atas supportnya selama ini ke cicih. Aku dengan fiksiku ada, semua karena Mas Hans.
Mari… kita gapai mimpi.
Salam hormatku
idemmmmm sama mas hans untuk koment yang di atas, buttt , untuk yg koment terakhir, ciciiiiiiii jangannn mauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu :cool
Hahahahaha… Acik si petasan sundut, tar dijitak mas Hans lho.
Mana setorannya, Neng? #maksa nih!
Inspiratif cici Kim
Dear… love you, Muachhhh….
banyak sekali nasehat dan ilmu tentang kehidupan yang ditemui di kisah ini…..bagus sekali cici Kim
Bunda Enggar, terima kasih.
Tulisan bunda (MBLR)saya tunggu lho
wehehehe, belum ada ide yang muncul ni cici..masih mencari-cari.
mudah-mudahan segera ketemu dan bisa dituliskan
Pasti sebentar lagi Bunda setor langsung 2, cici tahu Bunda kaya ide.
selamat pagi
Wow
asyik..
Selamat pagi Bang Odi, wah.. suatu kehormatan Abang sudi mampir di sini.
Terima kasih ya bang. 🙂
Pagi mas Nandar.
Hayuuu.. ikutan setor, bagi-bagi cerita di sini.
Terima kasih ya.
cici .. aku suka 🙂
Pagi Mbak Marla,
Terima kasih ya sudah sempetin baca. ..:)
wuihhh kerennn…..
Mommy, terima kasih atas kunjungannya. maaf baru balas komentnya :)kesulitan OL nih…
waaaahhhh keren ini ceritanya…. ipuuuung… semangat semangattt 😀