DALAM perjalanan menuju Bandara Don Mueang, Bangkok. Yang kupikir dan kutanya-tanya: Mengapa saya tak pamit ke kawan-kawan Ketikers. Dan, selama perjanalan, esais ini asyik renungkan penciptaan awan, dan berimajinasi. Bagaimana seandainya awan itu memadat dan bisa dijadikan pemukiman warga. Ah, nyeleneh khayalanku.
Untuk perkara pamit-pamit, bukan suatu kebiasaan familiar -untuk diriku- karena perjalanan ini, kusamakan dengan perjalanan ke kampus, ke rumah, ke kampung, ke masjid, ke gedung DPR, ke kantor bupati, ke poskamling atau ke pasar. Semuanya disebut perjalanan. Bahkan kematian itupun perjalanan yang teramat jarang minta pamit baik-baik. Buatku itu, perjalanan adalah misterinya sendiri. Dan soal tempat, itu soal migrasi saja. Lagian dunia dan bumi, sama saja. Hanyalah soal jarak geografis.
Ketikers mencariku (konon), bukan karena hal kepergianku tetapi ketidakhadiranku dalam mengisi kewajibanku dalam menulis esai. Kuyakini itu. Idealnya, di manapun aku berada tak membuat alpa membuat esais. Nah gitu, bukan?
***
Saat jelang mendarat, ketua pramugari menatapku dalam-dalam. Kutaktahu apa gerangan membuatnya tertarik dan mengawasiku. Dan saat landing sempurna sang burung besi. Sayapun turut ambil rangsel, dan siap-siap menuruni tangga pesawat.
“Maaf Pak. Saya wajib memeriksa tas bapak!”
“Ada apa Mbak?”
“Diduga ada pelampung di dalam tas bapak”
Kali ini, saya benar-benar tak paham, seorang sepertiku mengambil pelampung milik penerbangan, tak jua tahu apa manfaat pelampung itu jika saya bawa pulang. Tak secuilpun niat burukku untuk menjadikan koleksi antik di ruang kerjaku atau apalah namanya.
***
Nampaknya, ada penumpang yang melaporkanku dan memfitnahku. Namun, bukan Armand jika tak mencoba sabar dan merayu diri untuk tetap sesantai mungkin. Dan ketua pramugari itu berkata lagi:
“Maaf ya Pak”
Lalu kutimpali dengan eksyen Makassar:
“Kenapa lagi Mbak. Saya ini sudah banyak masalah kasihan”.
Ketua pramugari itu malah terbahak-bahak. Barusan kusaksikan seorang pramugari ketawa selebar itu walau kutahu itu pelanggaran profesi. Ia beri tanggapan: “Bapak lugu, jujur dan ekspresi sangat indah, meyakinkan”. Sayapun tersenyum. Ada satu hikmah pada penerbangan itu bahwa kejujuran -menurut orang bijak- adalah mata uang yang berlaku dimana-mana, tanpa kenal darat, laut maupun udara. Tak perlulah saya marah-marah, kesal atau sejenisnya. malahpun tak penting-penting berkuat-kuatan bertengkar soal pelampung itu. Sebab, kejujuran itu sederhana, tak perlu ke esensi perkara, toh terbahasakan dengan muatan ekspresi jujur. Yang rumit itu kedustaan dan sandiwara.
Salam Ketiker
Keluguan dan lelucon lebih baik dalam menghadapi situasi tegang ya bro
nah itu dia Bro 😀