Gaya  

Ikhlas Membawa Nikmat

ikhlas
foto : haritsaja.wordpress.com

Dulu ada film atau sinetron berjudul, “Sengsara Membawa Nikmat”. Kalau dipikir apa iya sengsara membawa nikmat, nikmatnya dimana? Wong merasa sengsara dan nelangsa kok dianggap nikmat? Kalau sengsara lalu pura – pura bahagia itu namanya menipu. Menipu orang lain mudah, menipu diri sendiri sulit. Yang namanya suara hati pasti akan mengatakan kejujuran. Ibarat cermin, hati akan memantulkan apa yang ada dalam diri kita seutuhnya. Bisa jadi kita berpura – pura atau menampik kenyataan tapi kebenaran dari hati akan selalu dibisikkan. “Eh, kamu ini sebagai manusia banyak kekurangannya, ini lho….”

Saya kira sengsara tidak membawa nikmat, tetapi ikhlas membawa nikmat. Benar tidak ya? Jadi ketika kita tidak selalu ngotot untuk memenangkan hak, ada kelepasan yang mendalam. Ada ruang yang lapang dalam hati ketika kita melepaskan hal – hal yang menyesakkan. Saya sering teringat hari – hari yang lalu ketika dalam banyak hal ditipu orang, dalam banyak promosi disalip orang, dalam banyak percakapan dibekap orang. Banyak sekali peristiwa yang kalau saya buat daftarnya, bagi saya yang muncul hanyalah kesengsaraan. Lalu sering muncul amarah dan keinginan untuk mengkalkulasi dalam bentuk dendam serta benci. Berlalunya waktu membuat saya berpikir, bahwa percuma saja saya membenci. Tokh pada akhirnya orang yang saya benci akan tiada, demikian pula saya. Jika hidup dapat dihabiskan dengan mencintai dan berbuat baik, kenapa harus sebaliknya? Jika dapat meraup emas, mengapa meraup jelaga?

Uang – uang dan uang. — Seringkali masalah selalu berbalik lagi pada uang. Padahal pada jaman batu ada orang – orang yang hidup hanya dengan bermodalkan batu. Pada jaman dahulu ada orang – orang yang hidup dengan bermodalkan TV bisu dan warna hitam – putih. Jaman dahulu banyak orang yang hidup sederhana dengan bermodalkan seadanya namun tetap bahagia. Jaman sekarang tidak, orang dilihat dari penampilannya, dari apa yang bisa dipamerkan. IPOD, IPAD, TAB, MAC, XBOX, apalagi? Ferrari dan sebagainya. Melihat kebelakang saya berpikir, seharusnya hari ini saya sudah begini, saya sudah jadi ini, saya sudah kesini dan saya sudah mencapai sesuatu. Wow! Tamak ya saya? Memang ada ambisi dalam diri saya dan ketika itu tidak tercapai jadi sangat menyakitkan. Lucu, boss saya dulu berpikir, bahwa saya sangat penurut dan tidak pernah marah. Ketika saya mengungkapkan kekesalan saya, ia memegang kepalanya, “O my God Winda, you’re so ambitious!” Dan dia terperangah.

Baca juga :  Baik-Buruk, Buatan Manusia

Ambisi itu diam – diam ada dalam diri semua orang. Tidak semua orang yang banyak bicara lalu ambisinya lebih besar daripada orang yang pendiam. Bahkan mungkin lebih kuat pada orang yang pendiam, karena ambisinya tertutup oleh keheningan. Sementara orang yang banyak bicara lebih mudah menyuarakannya dengan lantang. Ambisi yang tidak tercapai seringkali mendatangkan kesengsaraan dan sakit hati. Itu benar. Tetapi buat saya ambisi itu sendiri penting, sama pentingnya dengan nyawa kita. Tanpa ambisi kita jadi malas, ogah – ogahan, sesuka hati, ala kadarnya. Apa bedanya kita dengan ilalang yang tumbuh ditepi jalan jika kita tak memiliki ambisi? Jika kemudian ambisi tak tercapai, ikhlaskanlah! Gantikan dengan cita – cita lain yang lebih cocok. Artinya arah kehidupan kita harus diubahkan, dibengkokkan. Terlebih, ikhlaskan semua yang sudah terjadi di masa lalu, waktu, dana, ketekunan, niat, kesetiaan, semua yang kita dedikasikan, yang kemudian tercecer, terbuang sia – sia, ikhlaskanlah.

Baca juga :  Hujan

Saya barusan mengirim sebuah email panjang kepada sahabat saya, menceritakan deretan kesengsaraan yang saya alami setelah terpisah dengannya. Dari A hingga Z. Anehnya saya tidak menuliskan itu semua dalam bentuk kesedihan. Saya mampu menuliskannya dalam bentuk anekdot, kisah lucu yang bahkan saya sendiri dapat mentertawakannya. Ketika kita berpikir untuk ikhlas dan membuang semua ‘sampah’ dari hati kita, ruang kosong yang tersedia akan menjadi sangat luas dan memampukan kita berkarya lebih banyak. Lebih terfokus dalam mengarahkan diri dan hanya memandang hari – hari mendatang. Mau tak mau saya jadi mengingat tulisan lama saya yang berjudul menghitung anugrah bahagia, karena memang hal itulah yang menjadi motor di kehidupan. Sengsara sama sekali tidak membawa nikmat, tetapi ‘cuci – gudang’ alias ikhlas dan mengabaikan hal – hal yang tak perlu, tentu akan membawa nikmat!

Author

  • josephinewinda

    ~ Just me, would like to write, learn about life and making friends. Always trying to become a better person. Life is looking forward not staying behind ~ @dhenokayu

    Lihat semua pos

Respon (2)

  1. SAya pernah baca, justru ketika kita mampu menghilangkan ambisi dalam diri kita dan hidup dalam keikhlasan, maka kebercukupan akan datang dengan sendirinya…tetapi dengan ambisi memang keinginan bias terpenuhi, tapi akan membuat kita tak pernah ada puasnya sampai matihttp://ketikketik.com/wp-content/plugins/wp-monalisa/icons/wpml_cool.gif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *